Cut Ishmatun Nisa, Tetap Taat di Negeri Minoritas Muslim
Cut Ishmatun Nisa
adalah figur teladan untuk muslimah masa kini. Meski hidup di Australia yang
merupakan negeri minoritas Muslim, namun ia konsisten menjaga identitas
kemuslimahannya. Ia konsisten memakai busana Muslimah, serta kuat menjalankan
keyakinan Islamnya.
Keistiqamahannya dalam menjaga identitas Islam diawali dari
pendidikan di keluarga. Ayah Cut Ishmatun Nisa, Dr. T. Chalidin Yacob adalah
seorang aktivis dakwah Islam di Australia, pendiri Islamic Center di negeri
Kangguru tersebut. Chalidin Yacob juga aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII)
yang cukup terkenal di tanah air.
Khazanah
Pesantren tertarik mengangkat profil dan pemikiran Ishmatun Nisa
mengingat kebutuhan remaja muslimah terhadap figur yang bisa diteladani.
Nampaknya, Ishmatun Nisa patut menjadi teladan kawula muslimah di Aceh,
khususnya bagi mereka yang sedang belajar di negeri mayoritas non Islam atau
bagi memiliki niat untuk belajar ke luar negeri.
Dalam diskusi dengan Khazanah
Pesantren beberapa waktu lalu, Ishmatun Nisa menceritakan banyak hal tentang
kehidupannya di negeri minoritas Muslim. Kebetulan, Ishmatun sedang di Aceh
belajar di Dayah Darul Ihsan selama beberapa waktu untuk memenuhi dahaganya
akan khazanah keilmuan Islam yang diajarkan di Aceh.
“Negeri yang minoritas
muslim adalah tempat saya menemukan Islam yang sebenarnya. Disini orang Islam
sangat menghargai agama nya sendiri dan bagi yang praktek agama nya, mereka
mempraktekkannya dengan sempurna, “ ujar Ishmatun yang sejak kecil dibesarkan
di Australia ini.
Contohnya kata Ishmatun,
sebagai seorang muslimah, kami diwajibkan untuk berjilbab. Tentu saja, katanya
lagi, ia mengikuti kewajiban tersebut tapi yang luar biasa saya melihat adalah
tanggung jawab yang begitu besar dari perempuan yang memakai jilbab terhadap
sikap mereka. Kepada non muslim, perempuan yang berjilbab adalah Contoh bagi
orang muslim, maka segala perbuatan dari mereka di kembalikan kepada Islam.
“Oleh karena itu, sebagai
seorang muslimah, kita harus super hati hati di negara minoritas muslim agar
tidak memburukkan nama Islam kepada kaum non muslim, yang kami panggil dengan
"potential Muslims" yaitu orang yang belum kenal dengan Islam, ‘ ujar
Ishmatun.
Dari keluarga yang taat
Khazanah Pesantren lalu bertanya lebih jauh
tentang proses pendidikan Islam dijalankan di keluarga Ishmatun. Ia bercerita
panjang soal ini.
“Syukur sebesar-besar
nya, kami sejak dari umur balita sudah terbiasa dengan ajaran agama. Pengaruh
paling besar dan paling berperan di tahun tahun awal anak adalah orang Tua.
Saya ingat bahwa orang Tua jarang sekali memerintah tanpa pertama memberi
Contoh atau penjelasan. Waktu kami kecil, kami Selalu shalat 5 waktu berjamaah
sekeluarga di rumah dan setiap selesai shalat maghrib, kami bertiga (saya,
abang dan adek perempuan saya) mengambil Quran dan Iqra masing masing dan baca
langsung dengan ayah yang mengajar kita.
Ibu juga membaca Quran bersama di
waktu yang sama sehingga kami terbiasa dengan rutinitas tersebut sehingga
dewasa. Kebiasaan untuk mengaji itu terbawa dalam keseharian juga. Pada weekend
di Australia (libur sekolah hari sabtu dan minggu) kami di bawa ke mesjid Darul
Iman di hari sabtu untuk mengikuti kelas pelajaran islam dan Quran yang ayah
dan ibu juga menjadi Ustad dan ustazah di situ”, kata Ishmatun menceritakan.
Ishmatun melanjutkan
ceritanya: “Pada hari minggu juga yang sama, di bawa ke Ashabul kahfi Islamic
Centre untuk kelas agama. Islamic Centre tersebut memang di dirikan oleh ayah
pada tahun 1996, jadi kedua orang Tua memang berperan. Pada hari senin sampe
jumat, orang Tua memasukkan kami ke sekolah islam di Australia yang bernama
Malek Fahd Islamic school. Jadi dengan jadwal setiap minggu seperti ini, dari
tingkat SD sampe SMA, kami terus di kelilingi dengan suasana dan Teman yang
Islami. Juga, kehadiran ayah dan ibu di tempat ngaji kita membedakan kita dari
anak yang lain yang orang Tua nya hanya antar anak nya ke tempat ngaji tanpa
ada peran dalam process mengaji anak. Karena ayah dan ibu saya juga mampu untuk
mendidik kami juga di rumah, pelajaran yang kami dapatkan di tempat ngaji di
ulang lagi di rumah untuk diperkuatkan.
“Begitu penting peran
orang Tua dalam proses pendidikan anak yang mungkin beda dengan anak anak lain
yang di bawa saja ke tempat ngaji. Mereka di bawa seminggu sekali tanpa ada
"reinforcement" di rumah, yang tentu Saja tidak cukup. Atau
barangkali anak tersebut belajar sesuatu di tempat ngaji dan ketika pulang
menemukan hal yang berbeda, “ ujar Ishmatun yang belum lancar berbahasa
Indonesia ini namun lancar berbicara bahasa Aceh.
Jaga identitas kemuslimahan
Menurut Ishmatun, persoalan identitas sebagai
Muslimah adalah hal yang begitu urgen. Menurutnya, identitas seseorang sangat
penting untuk dipeliharakan karena itulah yang membedakan kita dari yang lain.
Kalau di negeri mayoritas non muslim, identitas itu lebih penting lagi untuk
diperkuatkan agar tidak terbawa dengan suasana yang kurang mendudukung sebagai
seorang muslim.
Hal yang istimewakan kita daripada orang lain seperti shalat
lima waktu, mencari makanan yang halal dan khusus untuk muslimah, menggunakan
jilbab, dapat dipertahankan dimanapun kita tinggal. Dengan kita yakin
menjalankan perintah Allah, lewat itu kita dapat mengajak mereka yang non
muslim kepada Islam. Mereka yang non muslim salut dengan orang yang berprinsip
dan kuat menjaga identitas masing masing.
Khazanah Pesantren lalu bertanya, di Aceh,
muslim dan muslimah bebas menjalankan keyakinan islam, sesuatu yang pada
sebagian Negara tidak dijumpai kebebasan seperti ini. Bagaimana komentar Ishmatun
soal ini?
Ishmatun member penjelasan, menurutnya, mungkin kebebasan
untuk menjadi seorang muslim itu ada dimana-mana, hanya saja ada beberapa
tempat yang membatasi tingkat keislaman kita. Contoh, kalau di Australia
sekarang, ada beberapa anggota dewan yang meneruskan kampanye mereka dengan
menjelekkan Islam kepada pengikutnya.
Sebuah partai yang menggunakan cara tersebut
adalah “One Nation” yang dikuasai oleh Pauline Hanson. Dia selalu berusaha
untuk menakutkan masyarakat dengan agama Islam, yaitu mengembangkan
“Islamophobia” seperti bilang tidak menerima hukum syariah di negeri Australia,
ingin cabut legalitas untuk menyembelih binatang dengan cara yang halal karena
alasan bahwa itu melanggar hak-hak binatang, dan juga melarang perempuan untuk
memakai cadar. Dari segi ini, kebebasan menjalankan keyakinan Islam itu sedikit
sulit, tapi syukur mereka hanya minoritas daripada warga Australia semua.
Banyak lagi orang non Muslim yang tidak simpatis dengan cara mereka dan
berusaha untuk mencari informasi yang sebenarnya.
“Maka, bagi kita yang hidup di Aceh sebenarnya
harus merasa syukur dengan bisa menjalankan keyakinan Islam tanpa ada
penghalang, “ ujar Ishmatun.
Masukan Ishmatun bagi perempuan Aceh
Oleh sebab itu, Ishmatun
mengusulkan, Perempuan Aceh yang
ingin kuliah keluar, terutama ke Negara minoritas muslim, harus membekali diri
dulu dengan ilmu agama yang kuat. Bukan hanya perempuan, tapi semua yang
mempunyai niat untuk meneruskan kuliah keluar harus ada bekalan tersebut. Bagi
yang menaati perintah agama seperti berjilbab, shalat dan puasa di negeri Aceh,
belum tentu bisa seperti itu ketika sampai keluar, kalau tidak benar-benar
mengerti arti mengerjakan ibadah tersebut. Apalagi kalau sampai di Negara
minoritas muslim, mereka lebih memilih pergaulan dengan yang non muslim dan
untuk tidak berbaur dengan masyarakat muslim diluar.
Pelajari Islam dahulu
“Pesan terpenting dari saya adalah untuk
mempelajari agama dulu agar siap untuk menjadi contoh teladan bagi orang muslim
ketika diluar sana. Kita harus menjadi seseorang yang patut disebutkan sebagai
muslimah dengan perilaku dan sikap kita yang Islami. Jangan mempunyai motivasi
untuk kuliah keluar hanya untuk mencari kehebatan tanpa meninggalkan bekas yang
bagus tentang orang muslim. Pengalaman saya di Australia dengan orang non
muslim adalah mereka senang untuk mempelajari agama kita langsung dari kita
pengikutnya, daripada dari media yang sering memburuk nama Islam. Maka dengan
kewajiban besar ini, kita harus siap untuk bisa memberi penjelasan yang jelas,
“ujarnya berpesan.
Khazanah
Pesantren jug bertanya kepada Ishmatun Nisa perihal kondisi umat Islam
secara global dewasa ini. Allah telah berfirman
bahwa Ia tidak akan mengubahkan keadaan umat sebelum mereka mengubahkan dirinya
terlebih dahulu. Menurut Ishmatun, semua bala dan musibah yang tertimpa kita
adalah hasil dari perbuatan kita sendiri.
‘Beberapa malam yang lalu saya hadir majlis zikr
yang dipimpin oleh ulama dari Suriah di Mesjid Raya. Imam Afiouny, Mufti
Damaskus, berkata bahwa ketika ada masyarakat yang rajin dalam berzikr, maka
Allah akan menolak bala agar tidak menimpa masyarakat tersebut. Dengan cara
kita kembali kepada Islam dan mengutamakan zikr dan tidak meremahkan
kepentingan zikr, insyaAllah itu usaha kita untuk memperbaiki kondisi umat
Islam sekarang, “ ujarnya.
Tapi sedihnya, sambung Ishmatun, ramai yang
berfikir bahwa dengan mengambil cara seperti ini, kondisi umat tidak akan
berubah, harus kita yang berusaha lebih dengan membela umat seperti di Suriah
atau Palestin. Saya kira pola berfikir seperti inilah yang mengakibatkan
kondisi umat Islam seperti ini sekarang, karena menganggap bahwa diri dia yang
berkuasa.
“Kita harus kembali lagi kepada dasar-dasar
Islam agar meraih kejayaan seperti dulu lalu, “ tutup Ishmatun. [Sumber: Khazanah
Pesantren]
Posting Komentar untuk "Cut Ishmatun Nisa, Tetap Taat di Negeri Minoritas Muslim"