Serial Sir Muqtasid 3 : Hikmah Kesenjangan
Serial
Sir Muqtasid 3
≈ HIKMAH KESENJANGAN ≈
Oleh
Dr. Hafas Furqani, M.Ec
Dosen
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry, Banda Aceh
"Jika Allah SWT berkehendak manusia
bisa saja diciptakan dalam kondisi setara, sama level, tidak ada perbedaan yang
kaya dan miskin, bodoh dan pintar, sehat dan lemah.Tetapi, Allah SWT
berkehendak manusia diciptakan berbeda, tidak setara, dan penuh kesenjangan.
Sebagian kita lahir dalam kondisi sehat,
membesar dengan anugerah kepintaran, kemahiran kreatif yang luar biasa, dan
keluarga yang memiliki limpahan harta. Sebagian yang lain lahir dalam keadaan
sakit, cacat, tidak pintar, kemampuan kreatif yang pas-pasan, dan hidupnya
penuh kekurangan.
Perbedaan dan kesenjangan menjadi
keniscayaan karena memang kehendak Allah SWT menciptakan kondisi tersebut
sebagai kondisi awal dalam kehidupan manusia".
Sir Muqtasid, malam itu, termenung
dalam, bertafakkur menghayati rahasia dan hikmah pada penciptaan manusia yang
penuh perbedaan dan kesenjangan ini.
"Apa hikmah dari ini semua? Pasti
ada tujuan dari apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT". Di keheningan malam Sir Muqtasid termenung,
bertafakur. Beliau lalu mengambil Al-Qur'an dan beberapa buku untuk mencari
jawaban.
***
Dalam Surah Al-Nahl ayat 71, Allah SWT
berfirman bahwa manusia diberi rezeki yang berbeda antara satu sama lain:
"Dan Allah melebihkan sebahagian
kalian dari sebagian yang lain dalam hal rezeki".
Selanjutnya, Allah SWT berfirman:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (Al-Zukhruf: 32).
***
Dalam Surah Al-Zukhruf ayat 32, Allah
SWT menyatakan dengan jelas alasan mengapa ada Perbedaan rezeki dan ma'isyah
yang diberikan: agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain.
Adalah menjadi ketetapan Sunnatullah
bahwa manusia diciptakan berbeda-beda, kemahirannya berbeda satu sama lain, dan
kebutuhan hidupnya juga bervariasi. Manusia tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya sendiri. Kita perlu orang lain. Orang lain juga perlu kita. Manusia
saling membutuhkan sehingga saling memanfaatkan antara satu dengan yang lain.
Kita bekerja dalam kerangka menjalankan
peran makhluk sosial yang membutuhkan satu sama lain. Peran kita adalah dalam
rangka memberi manfaat kepada orang lain dan peran orang lain adalah dalam rangka
memenuhi kebutuhan kita.
Bayangkan kalau kita semua sama level,
sama kaya, sama pintar, sama sehat, dan sama kemahiran, akankah kita perlu
kepada orang lain? Akankah kita mau bekerja untuk orang lain? Atau sebaliknya?
Tentu tidak.
Kehidupan manusia di bumi tidak akan
berjalan, dan penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi juga hilang
signifikansinya.
***
Lebih lanjut, kalau kita kembalikan
kepada apa yang disampaikan oleh Imam Al-Ghazali dalam penjelasan Sir Muqtasid
sebelum ini, bahwa peran itu semua: memenuhi kebutuhan orang lain melalui kerja
kita, secara esensinya adalah _bukan untuk mendapatkan rezeki (karena sudah
ditentukan), tetapi dalam konteks amal ibadah kepada Allah SWT (untuk pahala di
akhirat)_.
Dalam Al-Qur'an ini digambarkan sebagai
sikap al-birr (kebajikan) dan taqwa.
Allah SWT berfirman:
"Dan tolong-menolong lah kamu dalam kebaikan dan ketakwaan. Dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwa lah
kamu kepada Allah, sesungguhnya siksa Allah sangat berat". (Al-Maidah:
2)
Artinya "kita bekerja untuk
memaksimalkan manfaat yang dapat diberikan kepada orang lain, dan selanjutnya
memaksimalkan pahala bekal akhirat kita, bukan untuk memenuhi kepentingan diri
(self-interest) dan memaksimalkan laba (profit
maximization)".
Bagi Sir Muqtasid, ini sesuatu yang
penting karena dengan pandangan seperti ini, paradigma kompetisi kita akan
bergeser ke arah fastabiqul khayrat seperti yang diinginkan oleh Al-Qur'an.
“Dan
bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 148).
Kompetisi dalam paradigma materialis
kapitalis mengarah kepada penumpukan kekayaan pribadi memperbesar bakul hidup
dunia. Tujuan ini digambarkan dalam hadits Nabi SAW:
ما الفَقرَ أَخشَى
عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا
بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوْهَا كَمَا تَنَافَسُوْهَا فَتُهْلِكَكُمْ
كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
"Bukanlah kefakiran (kemiskinan) yang aku takutkan atas kalian, akan
tetapi yang aku takutkan atas kalian adalah akan dibentangkannya dunia atas
kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu
kalian berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba maka hal itu
membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR. Muslim No.
2961)
***
Dari sini selanjutnya bisa kita pahami
maksud *derajat* yang disebutkan dalam beberapa ayat di atas.
Derajat rezeki, kekayaan, dan sumber
daya lainnya dalam kehidupan dunia yang Allah SWT berikan secara berbeda antara
satu sama lain. Akan tetapi ini tidak bermaksud derajat manusia di hadapan
Allah SWT berbeda disebabkan perbedaan pemberian itu.
Yang membedakan status derajat manusia
di hadapan Allah SWT ada dua hal, yaitu ilmu dan amal.
Orang berilmu berbeda derajatnya dengan
yang tidak berilmu.
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي
الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
"Sampaikan, tidaklah sama antara orang yang mengetahui dan orang yang
tidak mengetahui". (QS. az-Zumar: 9).
Orang yang melakukan amal shaleh
dikelompokkan dalam khayrul bariyyah dan orang yang berbuat jahat masuk dalam
kelompok _syarrul bariyyah_.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ
هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ . إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ
هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ
"Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang
yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka
itu adalah seburuk-buruk makhluk. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk".(QS.
al-Bayyinah: 6 – 7).
"Ilmu dan Amal adalah jalan
mencapai Taqwa. Derajat Taqwa inilah yang membedakan status manusia di hadapan
Allah SWT, bukan lainnya". Ini menjadi kesimpulan Sir Muqtasid.
"Taqwa adalah sifat manusia
menghayati pemberian Allah SWT kepadanya dalam berbagai bentuknya. Taqwa adalah
aksi manusia memanfaatkan pemberian Allah SWT kepadanya dalam berbagai kegiatan
amal shaleh. Taqwa adalah kesadaran tertinggi manusia yang berpusat dalam hati
manusia (yang Allah berikan sama kepada setiap orang), bukan pada kekayaan
harta, kepintaran akal, kesehatan tubuh, kecantikan rupa, atau fasilitas lainnya
(yang Allah berikan berbeda-beda)".
Orang kaya dan orang miskin sama
statusnya di hadapan Allah SWT dan dalam usaha mencapai taqwa. Bukan berarti si
kaya lebih beruntung, atau si miskin tidak beruntung. Perbedaan kekayaan tidak
dilirik Allah SWT sama sekali, karena segala yang ada di bumi dan di langit
adalah milik-Nya dan tidak berhajat kepada sesuatu apapun. Yang dilirik adalah
sikap taqwa si kaya dan si miskin.
Derajat rezeki adalah mutlak pemberian
Allah SWT, akan tetapi derajat taqwa adalah hasil dari usaha manusia itu
sendiri.
Tidak semestinya orang kaya yang
diberikan Allah SWT berbagai kemewahan hidup akan bisa mencapai derajat Taqwa.
Godaan terbesarnya adalah ketakutan hartanya akan berkurang, sombong, kikir,
dan tidak bersyukur.
Demikian pula, tidak semestinya orang
miskin yang memiliki kesempitan hidup tidak bisa mencapai taqwa. Ujian
terbesarnya adalah kesabaran, keikhlasan dan rasa syukur.
Demikian hikmah kesenjangan dalam hidup
manusia. Tetapi masih bermain juga dalam fikiran Sir Muqtasid, "kalau ada
hikmah seperti ini, apakah ini artinya kesenjangan dan ketimpangan ini harus
dibiarkan? Atau dihilangkan? Bagaimana sebenarnya sikap ekonomi Islam terkait
ini?" Sir Muqtasid belum menemukan jawaban di penghujung malam itu.
Banda Aceh, 18 Oktober 2020
Posting Komentar untuk "Serial Sir Muqtasid 3 : Hikmah Kesenjangan"