Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Israk Mikraj Rasulullah Saw, Penjelasan Lengkap Tgk Muhammad Iqbal Jalil

 


ISRAK DAN MIKRAJ RASULULLAH SAW


Oleh : 
Muhammad Iqbal Jalil


Israk merupakan perjalanan agung yang dialami oleh Rasulullah Saw dari Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha, sedangkan Mikraj merupakan perjalanan dari Mesjidil Aqsha melewati seluruh lapisan langit hingga sampai ke Sidratul Muntaha. Peristiwa Israk diabadikan oleh Allah dalam Surat Al-Isra' :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS Al-Isra': 1)

MAQAM ‘UBUDIYYAH

Para Ulama sepakat bahwa kata ’abdi (hamba) dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad Saw. Dipanggilnya Nabi dalam ayat ini dengan panggilan hamba menjadi isyarat akan tingginya sifat ‘ubudiyyah (penghambaan diri) ketika hal itu ditujukan kepada Allah SWT. Dan tidak ada sifat lain bagi seorang mukmin yang lebih sempurna dan lebih mulia dibandingkan sifat hamba. Maka karena itulah Allah selalu memanggil Nabi dengan panggilan hamba pada maqam mulia seperti ayat tentang wahyu dan dakwah. Dalam konteks Wahyu, Allah berfirman:

فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى
Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah. (Q.S. an-Najm: 10).
Dan dalam maqam dakwah, Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللهِ يَدْعُوْهُ
Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat). (Q.S. al-Jinn: 19)

Sifat ‘abdi ini menjadi sifat yang paling mulia dikarenakan lawan dari sifat ‘ubudiyyah (penghambaan) adalah sifat uluhiyyah (ketuhanan). Ini bermakna seseorang baru benar-benar menuhankan Allah ketika ia sadar bahwa ia merupakan hamba Allah. Semakin besar bentuk penghambaan diri kepada Allah maka semakin besar pula bentuk pengagungannya terhadap kebesaran Allah. Inilah makna dari ungkapan:

من عرف نفسه عرف ربه
“Barangsiapa yang mengenal dirinya, Ia mengenal Tuhannya”.

قَالَ النووي فِي فَتَاوِيهِ: مَعْنَاهُ مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ بِالضَّعْفِ وَالِافْتِقَارِ إِلَى اللَّهِ وَالْعُبُودِيَّةِ لَهُ عَرَفَ رَبَّهُ بِالْقُوَّةِ وَالرُّبُوبِيَّةِ وَالْكَمَالِ الْمُطْلَقِ وَالصِّفَاتِ الْعُلَى
Imam Nawawi menyampaikan dalam Fatawinya bahwa maksud dari ungkapan itu adalah barangsiapa yang mengenal dirinya sebagai makhluk yang lemah, berhajat kepada Allah serta memperhambakan diri kepadanya, maka ia akan mengenal Tuhannya sebagai zat yang kuasa, yang berhak disembah, sempurna dalam segala hal dan memiliki segala sifat yang tinggi.

Dan melihat kepada peristiwa yang dialami oleh Rasulullah Saw sebelum terjadinya Israk Mikraj juga dapat dipahami bahwa salah satu sebab Rasulullah Saw dimuliakan oleh Allah lewat perjalanan Israk dan Mikraj adalah adalah beliau begitu sempurna merendah diri sebagai bentuk penghambaan kepada Allah tatkala menghadapi ujian yang bertubi-tubi.

Sebagaimana dimaklumi bahwa setelah wafat Isteri tercinta Siti Khadijah dan meninggal Pamannya Abu Thalib, tindakan kaum Musyrikin Mekkah dalam menzalimi Rasulullah tak ada lagi yang menghalangi. Dalam kondisi tertekan, Rasulullah Saw berinisiatif untuk hijrah ke Thaif dengan maksud mencari perlindungan dan menghindari kezaliman Kaum Musyrikin Mekkah. Namun bukannya perlindungan yang beliau dapatkan, Rasulullah Saw justeru dihinakan dengan diutus anak-anak dan orang gila untuk melempari beliau. Dalam kondisi yang tidak berdaya Rasulullah Saw mengadu kepada Allah:

اللهم إنى أشكو إليك ضعف قوتي ، وقلة حيلتي ، وهواني على الناس ، يا أرحم الراحمين ، أنت رب المستضعفين ، وأنت ربي ، إلى من تكلني ؟إلى عدو يتجهمني ، أم إلى غريب ملكته أمري ؟ إن لم يكن بك غضب عليّ فلا أبالي ، ولكن عافيتك هي أوسع لي ، أعوذ بنور وجهك الذي أشرقت له الظلمات ، وصلح عليه أمر الدنيا والآخرة ، من أن تُنزل بي غضبك ، أو تُحل بي سُخْطك ، لك العُتبى حتى ترضى ، ولا حول ولا قوة إلا بك.

"Ya Allah, sesungguhnya aku adukan kepada-Mu kelemahan diriku, sedikitnya usahaku, dan kehinaanku di hadapan manusia. Wahai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Engkaulah Rabb orang-orang lemah, dan Engkaulah Rabbku. Kepada siapakah engkau serahkan aku? Kepada musuh yang bermuka masam kepadaku, atau kepada orang asing yang Engkau berikan kepadanya urusanku? Selama Engkau tidak murka kepadaku maka aku tidak akan merisaukanku. Keselamatan dari-Mu terasa luas bagiku. Aku berlindung dengan cahaya zat-Mu yang telah menerangi kegelapan, memperbaiki urusan dunia dan akhirat, dari turunnya murka-Mu atas diriku, atau kebencian-Mu menimpaku. Hanya milik-Mu keridhaan sehingga Engkau meridhai. Tiada usaha dan kekuatan kecuali dengan-Mu."

Dalam situasi itulah Jibril datang membawa pesan dari Allah swt kepada Rasulullah seraya berkata: “Sesungguhnya Allah menyuruhku mengikuti permintaanmu terhadap kaum yang telah memperlakukanmu”. Rasulullah saw menjawab:

" اللهم اهد قومي فإنهم لايعلمون "
"Ya Allah tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui”

Dengan sikap tawadhu’ seraya mengadu nasibnya kepada Allah, merasakan diri sebagai makhluk yang lemah dan tidak berdaya tanpa pertolongan Allah, serta sikap kelembutan kepada kaum yang menzaliminya, Rasulullah Saw tidak lama kemudian dimuliakan oleh Allah lewat Israk dan Mikraj. Ini menjadi pelajaran bahwa seseorang yang ingin dimuliakan oleh Allah harus benar-benar menunjukkan sikap penghambaan diri kepada Allah, bukan hamba kepada harta, tahta atau wanita. Sikap penghambaan diri kepada Allah dibuktikan dengan mengutamakan perintah Allah di atas segalanya.

DENGAN RUH DAN JASAD

Para Ulama sepakat bahwa peristiwa Israk dan Mikraj terjadi setelah bi'tsah, yaitu setelah diangkatnya Nabi Saw sebagai Nabi dan Rasul. Hanya saja, ada perbedaan pendapat mengenai waktu yang pasti kapan peristiwa itu terjadi. Ada yang mengatakan satu tahun sebelum Hijrah dan ada juga yang berpendapat 5 tahun sebelum Hijrah. Menurut pendapat yang masyhur peristiwa Israk terjadi pada bulan Rajab, namun ada pendapat lain yang menyatakan terjadi pada bulan Ramadhan dan bulan Rabiul Awwal. Peristiwa Israk Mikraj terjadi pada malam Senin. Ini menunjukkan hari Senin memiliki keistimewaan tersendiri karena menjadi hari lahirnya Nabi, hari wafatnya Nabi, hari diangkatnya sebagai Nabi dan Rasul (bi’tsah) dan juga hari terjadinya peristiwa Israk dan Mikraj.

Para Ulama juga sepakat bahwa peristiwa Israk Mikraj yang dialami oleh Rasulullah Saw adalah dengan ruh dan jasad secara bersamaan dalam kondisi sadar (terjaga) bukan dalam keadaan tidur. Dalilnya adalah zahir dari ayat Alquran dan hadist Nabi. Di samping itu, Israk Mikraj dengan ruh dan jasad sekalian dalam kondisi terjaga mungkin secara hukum akal karena qudrah ilahiyyah (kekuasaan yang dibangsakan kepada Tuhan) patut untuk itu.

Diantara dalilnya adalah kata ‘abdi pada ayat 1 surat al-Isra’ makna hakikat lafaznya mencakupi ruh dan jasad. Dalil lainnya juga dapat dilihat dari surat an-Najm. Allah Swt berfirman:

مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى
Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. (Q.S. an-Najm: 17).
Disandarkan urusan kepada bashar (mata) menunjukkan bahwa peristiwa itu tidak lain melainkan terjadi dalam kondisi terjaga. Di samping itu, andaikan peristiwa ini terjadi bukan dalam kondisi terjaga, tidak mungkin timbul pengingkaran dari kaum Musyrikin, tidak akan ada anggapan dusta dari mereka dan tidak menyebabkan murtad sebagian kaum Muslimin yang lemah imannya. Timbulnya pengingkaran itu menjadi bukti yang kuat mereka memahami dari Rasulullah Saw bahwa beliau mengabarkan kepada mereka telah melakukan perjalanan yang sesungguhnya dalam keadaan terjaga dengan menempuh jarak yang jauh dalam waktu yang sangat singkat.

OPERASI PEMBELAHAN DADA

Perjalanan Israk berawal dari Mesjidil Haram dimana sebelumnya Malaikat Jibril menjemput Rasulullah Saw dari rumah Ummi Hani', kemudian dibawa ke Mesjid, menuju Hijir, menjalani operasi pembelahan dada dan kemudian dilanjutkan dengan perjalanan dengan mengendarai buraq. Perjalanan Israk ini terjadi secara tiba-tiba dengan tanpa pemberitahuan dan persiapan sebelumnya. Hal ini dipahami dari salah satu hadis Rasulullah Saw tentang Israk dengan kalimat بينما أنا yang artinya "tiba-tiba aku...". Kata-kata ini menunjukkan bahwa perjalanan Israk tidak diawali oleh pemberitahuan sebelumnya. Hal ini berbeda dengan munaajah Nabi Musa yang diawali dengan adanya perjanjian sebelumnya sebagaimana yang diceritakan dalam Surat Al-A'raf ayat 142.

Operasi pembelahan dada dilakukan oleh Malaikat Jibril sebelum Rasulullah Saw melakukan perjalanan. Malaikat Jibril membersihkan hati Rasulullah Saw tiga kali dengan menggunakan air zamzam dengan dibantu oleh Malaikat Mikail. Operasi pembelahan dada seperti ini dialami oleh Rasulullah Saw sebanyak 4 kali, yaitu:
1. Saat masih kecil ketika bersama Halimatus Sa'diyyah.
2. Ketika berumur 10 tahun.
3. Ketika diangkat menjadi Rasul.
4. Saat melakukan perjalanan Israk dan Mikraj.

Operasi pembelahan dada ini memang operasi yang sebenarnya dan tidak sah diartikan dalam arti yang maknawi. Ketika membelah dada Nabi, Malaikat Jibril mengambil gumpalan hitam dan berkata, "Ini bagian syaithan pada dirimu". Syekh Dardir menyampaikan maksudnya adalah kalau Syaithan ingin mendatangkan was was kepada Nabi adalah lewat bagian itu. Karena perlu dipahami meskipun Nabi ma'shum (terpelihara) dari terpengaruh was-was syaithan, tetapi tidak ma'shum dari datangnya was-was itu. Karena itu lah Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk ber-isti'azah dari syaithan.

Salah satu hikmah dan maksud dari pembelahan dada itu adalah untuk memastikan kesucian batin Rasulullah Saw sebagaimana kesucian zahirnya. Di samping itu, hati Rasulullah Saw diliputi oleh Rahmat, bahkan gudang dan asasnya Rahmat. Pembelahan dada itu dimaksudkan agar siapa saja yang dikehendaki oleh Allah celaka tidak mendapat rahmat tersebut. Syaithan termasuk golongan yang dikehendaki oleh Allah tidak mendapatkan rahmat, maka dikeluarkan bahagian syaithan dari dadanya Rasulullah Saw.

PENTINGNYA ZIARAH SHALIHIN

Dalam perjalanan dengan mengendarai buraq dari Mesjidil Haram ke Mesjidil Aqsha, Rasulullah Saw singgah di beberapa tempat. Di tengah perjalanan dan melewati tempat yang terdapat pohon kurma, Malaikat Jibril berkata, "turunlah dan shalatlah di sini!". Maka Rasulullah Saw turun dan melaksanakan shalat. Shalat yang dimaksud bisa saja mengikuti tatacara Nabi terdahulu karena shalat dengan kaifiyat umat Muhammad belum disyariatkan. Setelah itu Rasulullah mengendarai buraq dan melanjutkan perjalanan. Malaikat Jibril bertanya, "Taukah dimana Engkau shalat tadi?". Rasul menjawab, "tidak". Malaikat Jibril berkata itu adalah Taibah (Madinah), tempat dimana nantinya Engkau akan berhijrah.

Kemudian saat buraq yang dikendarai Rasulullah Saw tiba di Madyan, tepatnya di sebuah pohon tempat berteduhnya Nabi Musa saat keluar dari Mesir, Malaikat Jibril berkata, "Turunlah dan shalatlah di sini!". Maka Rasulullah turun dan melaksanakan shalat. Kemudian Rasulullah tiba di bukit Tursina, tempat Nabi Musa berbicara dengan Allah Swt, dan di sana Rasulullah juga turun dan melaksanakan shalat. Rasulullah juga singgah di Baitu Lahm (Betlehem), tempat dimana Nabi Isa dilahirkan.

Singgahnya Rasulullah Saw di beberapa tempat penting tersebut menjadi dalil diikatkannya agama sebelumnya dengan Islam dan agama Islam menjadi agama penutup sekaligus penyempurna bagi syariat para Nabi sebelumnya. Selain itu singgahnya Rasulullah Saw di beberapa tempat Nabi terdahulu menunjukkan betapa pentingnya menziarahi para pendahulu, menziarahi para aulia dan orang-orang shaleh. Ini juga menunjukkan pentingnya mengagungkan peninggalan-peninggalan (atsar) yang ada kaitannya dengan agama dan orang-orang mulia. Hal ini membantah anggapan sebagian golongan yang menyepelekan ziarah, apalagi sampai menyesatkan dan membid'ahkannya.

ANTARA USAHA DAN TAWAKKAL

Saat tiba di Baitul Maqdis, Rasulullah Saw turun dari buraq dan mengikatnya di pintu Mesjid dengan ikatan yang pernah digunakan para Nabi sebelumnya. Hikmah diikatnya buraq adalah untuk mengajarkan kita bahwa antara usaha dan tawakkal tidak kontradiktif. Di satu sisi secara zahir Nabi menempuh asbab untuk selamatnya buraq yaitu dengan mengikatnya. Namun secara batin hati Rasulullah ber-tawakkal (menyerah diri) kepada Allah seraya meyakini bahwa Allah berhak menyelamatkan apa yang Ia kehendaki dan melenyapkan apa yang Ia kehendaki.

Demikianlah dalam kehidupan ini. Kita tidak dilarang secara zahiriyah berobat ketika sakit, namun batin kita harus meyakini bahwa yang menyembuhkan adalah Allah. Allah yang mengenyangkan, bukan makanan. Allah yang memulihkan dahaga, bukan air. Silahkan berusaha asalkan secara batin ber-tawakkal. Silahkan menempuh asbab untuk sampai pada suatu maksud asalkan tidak lupa pada Musabbibul Asbab, Allah Swt. Memang Allah menciptakan asbab-asbab untuk memudahkan manusia. Tetapi karena jahilnya manusia banyak yang sibuk dan terikat dengan asbab, lalu ia lupa pada Musabbibul Asbab.

Setelah mengikat buraq, Rasulullah Saw memasuki Mesjidil Aqsha bersama Malaikat Jibril dan melaksanakan shalat masing-masing 2 rakaat. Setelah itu Mesjid sudah dipenuhi oleh Jamaah dan Nabi mengenali para Nabi terdahulu di antara mereka yang ruku' dan sujud. Setelah itu mereka melakukan shalat secara berjamaah yang diimami oleh Nabi Muhammad Saw. Hikmah dari kejadian ini adalah untuk menunjukkan kelebihan Nabi Muhammad dibandingkan dengan Nabi sebelumnya. Meskipun Baitul Maqdis adalah tempatnya para Nabi terdahulu, tetapi saat Nabi Muhammad ada di situ, beliau lah yang menjadi imamnya.

BERJUMPA DENGAN NABI TERDAHULU

Setelah keluar dari Mesjidil Aqsha, Rasulullah kemudian melanjutkan perjalanan ke langit. Setiap tiba di pintu langit Malaikat Jibril selalu ditanya, "Ini Siapa?". Maka beliau menjawab, "Jibril". Lalu ditanya lagi, "Siapa bersamamu?". Beliau menjawab Muhammad. Ditanya lagi, “Adakah Nabi Muhammad sudah diusus ke sini?”. Malaikat Jibril mengiyakannya. Lalu Malaikat penghuni langit pun bergembira seraya menyambut dengan ucapan Marhaban wa Ahla. Demikian terjadi di setiap pintu langit.

Di langit pertama Rasulullah berjumpa dengan Nabi Adam, bapaknya seluruh manusia. Di langit kedua Rasulullah Saw berjumpa dengan Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ketiga berjumpa dengan Nabi Yusuf. Di langit ke empat berjumpa dengan Nabi Idris. Di langit ke lima berjumpa dengan Nabi Harun. Di langit ke enam berjumpa dengan Nabi Musa. Dan di langit ketujuh berjumpa dengan Nabi Ibrahim, 'alaihim wa 'ala Nabiyyina afdhalus shalat wassalam. Lalu kemudian Rasulullah Saw melanjutkan perjalanan ke Sidratul Muntaha untuk menerima persyariatan shalat dari awalnya 50 waktu hingga akhirnya berkurang menjadi 5 waktu dalam sehari semalam.

Ada satu pertanyaan yang muncul, kenapa saat Rasulullah Saw turun ke langit ketujuh dan berjumpa dengan Nabi Ibrahim, Nabi Ibrahim tidak menyanggah apa-apa terhadap apa yang disyariatkan oleh Allah. Barulah kemudian ketika sampai di langit yang ke enam, Nabi Musa banyak berargumen dengan meminta Rasulullah kembali kepada Allah dan meminta keringanan. Bukankah Nabi Ibrahim yang lebih berhak memberikan usulan mengingat beliau yang lebih dulu dijumpai?

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu memahami bahwa Allah menjadikan para Nabinya dalam status dan karakter yang berbeda. Nabi Ibrahim tidak menyanggah apa-apa merupakan bukti bahwa Beliau dijadikan oleh Allah sebagai Khalilullah atau Khalilurrahman. Sifat Khalil adalah tunduk patuh apa adanya dan tidak ada basi basi. Apapun yang diperintahkan oleh Allah selalu ditaati tanpa bertanya kenapa itu diperintahkan. Bukti Nabi Ibrahim sebagai Khalil juga dapat dilihat pada peristiwa qurban, dimana Nabi Ibrahim sepenuh hati patuh terhadap perintah Allah meski harus menyembelih anak satu-satunya yang sudah lama dinanti. Tetapi sebagai Khalil tidak ada halangan sedikit pun untuk menunaikan perintah Allah walaupun kemudian Allah menggantinya dengan seekor kibas.

Adapun Nabi Musa banyak memberikan komentar karena memang Nabi Musa dijadikan oleh Allah sebagai Kalimullah, seseorang yang diajak berbicara oleh Allah. Walau yang menyampaikan Nabi, tapi hakikatnya apa yang disampaikan adalah kalam Allah. Nabi Musa sebagai Kalimullah layak berkomentar dan Nabi Musa memang rindu untuk berlama-lama berbicara dengan Allah.

Bukti Nabi Musa sebagai Kalimullah juga dapat dilihat dari jawaban Nabi Musa tatkala Allah menanyakan apa yang ada di tangan kananmu wahai Musa. Maka Nabi Musa menjawab dengan panjang lebar untuk merasakan lezatnya dan nikmatnya berlama-lama berbicara dengan Allah. Dalam surat Thaha Allah berfirman:

وَمَا تِلْكَ بِيَمِينِكَ يَا مُوسَىٰ (17) قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ (18)
Apakah itu yang ada di tangan kananmu, wahai Musa? Nabi Musa berkata: "Ini adalah tongkatku, tempat aku bertumpu padanya, dan aku merontokkan (daun) dengannya untuk (makanan) kambingku, dan bagiku masih ada lagi manfaat yang lain".

Dalam ayat ini yang ditanya apa yang ada di tanganmu, maka jawaban yang perlu dijawab hanyalah tongkat. Apalagi yang bertanya adalah Allah, yang maha tau segalanya. Namun Nabi Musa menjawab panjang lebar karena ingin merasakan nikmatnya berlama-lama berbicara dengan Allah. Ayat ini menjadi bukti bahwa Nabi Musa dijadikan oleh Allah sebagai Kalimullah.

Dan di antara hikmah Nabi Muhammad Saw dijadikan bolak balik untuk berjumpa dengan Allah dalam meminta keringanan shalat adalah untuk menunjukkan Nabi Muhammad Saw dijadikan oleh Allah sebagai Habibullah, sang kekasih Allah. Seseorang yang dikasihi tentu akan dirindukan untuk banyak berjumpa dengannya.

HIKMAH DINAIKKAN KE LANGIT

Setelah melewati berbagai lapisan langit, Rasulullah Saw dinaikkan oleh Allah ke Sidratul Muntaha, tempat yang istimewa dimana hanya Rasulullah yang sampai ke sana. Dinaikkan Rasulullah Saw ke langit hingga sampai ke Sidratul Muntaha bukan karena Allah bertempat di langit, melainkan itu bertujuan untuk memuliakan Rasulullah agar berhimpun padanya dua kemuliaan baik dari sisi hissi (indrawi) maupun dari sisi ma'ani. Rasulullah Saw merasakan kemuliaan maknawi dengan perjalanan yang agung ini serta perjumpaan dengan Allah Swt, dan juga ketinggian secara hissi karena berada pada tempat yang tinggi dan tempat yang istimewa.

Perlu dipahami bahwa Allah qadim, ada tanpa diawali oleh ketiadaan. Allah ada sebelum langit itu ada. Sebelum adanya langit dan adanya tempat, Allah wujud dengan tidak bertempat. Maka setelah adanya tempat, wujud Allah tetap tidak bertempat. Namun, barangkali ada sebagian orang yang tidak percaya atau logikanya tidak menerima adanya wujud tanpa bertempat, karena semua perkara maujud yang dilihatnya bertempat. Orang seperti ini telah menjadikan makhluk sebagai tolak ukur untuk menilai Sang Khaliq. Padahal diantara sifat Allah adalah mukhalafatuhu lil hawadis (berbeda bagi segala hal yang baharu). Maka sangat tidak layak apa yang terdapat pada hawadis dianalogikan kepada zat yang qadim. Ia menolak aqidah Allah tidak bertempat karena semua yang sudah dilihat wujudnya bertempat.

Hal ini sama saja dengan orang yang hidup zaman dulu yang mungkin akan menertawakan bila ada yang mengatakan besi bisa terbang seperti pesawat yang ada di zaman ini. Mereka juga akan menertawakan bila ada yang mengatakan baru saja berbicara dengan orang yang jaraknya jauh karena pada waktu itu belum ditemukan telepon. Nah demikianlah orang yang tidak mempercayai adanya wujud yang tidak bertempat karena yang ada dalam pikirannya adalah wujud makhluk. Lalu dengan kebodohannya ia mengingkari wujudnya Allah yang tidak bertempat layaknya orang yang mengingkari adanya matahari di siang bolong karena matanya sakit.

Orang yang tidak mempercayai wujud tidak bertempat dikhawatirkan akan membawaki kepada pengingkaran Allah bersifat qadim, yaitu mengingkari adanya Allah sebelum tempat itu ada. Kemungkinan lainnya adalah membawaki kepada mensyarikatkan Allah dengan sesuatu yang lain dimana ia meyakini yang qadim tidak hanya Allah, tetapi juga tempat bagi Allah. Keyakinan seperti ini sangat membahayakan dan bisa membawa kepada kemurtadan. Oleh karena itu salah satu asas dalam i'tikad Ahlussunnah Waljamaah adalah meyakini adanya Allah tanpa bertempat. Dan karena itu dapat disimpulkan bahwa perjalanan Nabi Saw ke langit untuk berjumpa dengan Allah, bukan bermakna Allah bertempat di langit.

Hikmah lainnya dinaikkan Rasulullah Saw ke langit adalah untuk menunjukkan betapa tingginya kedudukan shalat hingga diberikan di tempat yang istimewa secara langsung tanpa perantaraan malaikat Jibril. Kita memaklumi bahwa yang namanya hadiah yang istimewa tidak akan diwakilkan, bahkan tak jarang diadakan acara seremonial untuk penyerahan langsung. 

Nah seperti inilah shalat. Shalat adalah ibadah yang paling istimewa bahkan ibadah yang pertama yang akan dihisab. Peristiwa Israk Mikraj sejatinya menjadi renungan bagi kita untuk menyadari betapa jauhnya perjalanan Rasulullah Saw dan begitu istimewanya beliau dalam menerima persyariatan shalat, namun terkadang begitu mudahnya kita meninggalkan shalat.

Semoga kita dapat mengambil berbagai pelajaran di balik peristiwa Israk dan Mikraj Rasulullah Saw, khususnya menambah keyakinan di dalam menunaikan ibadah shalat yang secara khusus disyariatkan oleh Allah dalam peristiwa yang agung ini. Amiin!

Posting Komentar untuk "Memahami Israk Mikraj Rasulullah Saw, Penjelasan Lengkap Tgk Muhammad Iqbal Jalil"