Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sosok Ideal Gubernur Aceh ke Depan Harus Selesai dengan Dirinya Sendiri, Keluarga dan Kelompoknya

Ilutrasi pemimpin. Sumber: internet

Banda Aceh - Sepertinya keinginan akan hadirnya sosok pemimpin teladan di Aceh kian membuncah dalam dada-dada masyarakat Aceh.

Kerinduan untuk dipimpin oleh pemimpin yang mampu menjawab persoalan masyarakat selalu menjadi tema pembicaraan penduduk Aceh di dunia nyata maupun di dunia maya.

Hal ini agaknya karena realitas berbagai problematika kepemimpinan Aceh dewasa ini dari satu era kepemimpinan ke era lainnya.

Bahwa di antara persoalan krusial yang selalu mengganjal dalam agenda-agenda pembangunan Aceh adalah karena sang pemimpin belum selesai dengan dirinya sendiri dan kelompoknya.

Pagi ini saya membaca dua status Facebook dari dua orang aktivis Aceh, yaitu Lukman Age dan Fuad Mardhatillah.

"Jika dilihat keadaan saat ini berharap akan lahir seorang  Gubernur yang berorientasi semata-mata untuk membangun dan mengabdikan dirinya untuk rakyat sepertinya sulit, " tulis Lukman Age mengawali statusnya tentang sosok pemimpin Aceh yang diharapkan ke depan.

Lukman Age melanjutkan tulisannya, bahwa meskipun individu yang dicalonkan punya tekad demikian, namun dia tak akan bisa lepas dari kelompok yang mendukungnya yang akan menuntut balas jasa.

"Jika keinginan itu mau diwujudkan caranya harus dibalik, bukan dengan mencari pemimpin terlebih dahulu namun dimulai dengan membangun kelompok yang memang benar-benar bertujuan mengabdi untuk Aceh. Jika kelompok itu sudah kuat dan besar baru cari pemimpin yang mewakili kelompok tersebut untuk jadi Gubernur atau posisi lainnya," tulisnya lagi.

Lantas, Lukman Age menanyakan, “apakah itu cet langet?”  (Sesuatu yang tidak mungkin?). Lalu ia menjawab sendiri pertanyaannya. Ia menjawab:

"Saya kira tidak. Aceh pernah punya pengalaman bisa membangun gerakan yang orang-orannya rela mengorbankan waktu, harta dan nyawa untuk kemaslahatan negerinya. Hanya saja komitmen dan orientasi yang tidak dijaga sehingga hasilnya belum sesuai harapan," tulis Lukman Age yang pernah aktif di The Aceh Institute.

Sementara itu, hal yang hampir serupa juga ditulis Fuad Mardhatillah yang juga dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Berikut tulisan Fuad Mardhatillah :

"Kualifikasi Gubernur Aceh ke Depan:  adlh Seorang Figur, yg Benar2 Sudh Selesai Urusannya Dgn Kepentingan Pribadi, Dirinya Sendiri, Kluarga dn Klompoknya. Adakah Figur Begitu?" tanya Fuad Mardhatillah.

Fuad Mardhatillah lalu melanjutkan: "Jika Tidak Ada, Maka Stelah Terpilih Jadi Gubernur, Ia Akan Selalu Sibuk Berpikir Slama Menjabat, Utk Urusan Bgmn Merancang Kegiatan Anggran, Dalam Usahanya Mngembalikan Modal Dihabiskn pd Proses Pemilihan Dirinya Mjd Gubernur, Yg Konon Katanya Ratusan Milyar Rupiah, Ditambah Laba yg Berlipat Ganda. Apakah Ini Merupakn Skema Kehendak Allah?"

Coretan kedua tokoh Aceh ini agaknya penting untuk menjadi perhatian dan pemikiran bersama seluruh masyarakat Aceh. Sudah saatnya Aceh bisa maju.

Agar Aceh bisa maju, sosok pemimpin ideal seperti itu mutlak penting diperjuangkan di Aceh. Sosok pemimpin seperti ini kita butuhkan agar fokus melayani masyarakat Aceh.

Dengan pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, keluarga dan kelompoknya, harapan agar ia fokus membangun Aceh menjadi lebih memungkinkan.

Pengalaman yang lalu sudah seharusnya membuat kita bisa mengambil banyak pelajaran. Beruntunglah orang-orang yang mau belajar dari pengalaman masa lalu demi kebaikan di masa depan.

Oleh sebab itu, seperti tawaran Lukman Age di atas, bahwa masyarakat Aceh perlu mencari kelompok yang benar-benar ingin mengabdi untuk Aceh.

Artinya, kelompok ini harus menjadi kelompok yang ikhlas agar masuk dalam kualifikasi kelompok yang dari merekalah calon pemimpin yang dianggap paling ideal untuk memimpin Aceh.

Melihat intensitas pembelajaran tentang keikhlasan di dayah-dayah, saya melihat bahwa kelompok santri paling memenuhi kriteria ini. Dayah dengan para santrinya telah sangat berhasil dalam ujian keikhlasan dalam membangun Aceh.

Tema sentral pendidikan bahwa "siapa yang niat berhijrah (melakukan sesuatu) karena  Allah maka ia akan "mendapatkan" Allah, dan siapa yang niat melakukan sesuatu karena dunia maka dia akan mendapatkan dunia (bukan ikhlas karena Allah alias kerugian) " selalu menjadi pelajaran yang diulang-ulang di dayah.

Maka tak heran bahwa meskipun tanpa honor serupiah pun tapi para santri dan teungku di dayah tidak pernah berhenti mendidik anak-anak Aceh. Jadi itu bukti bahwa ujian keikhlasan sudah bisa dilalui. 

Dan keikhlasan ini agaknya dapat saja dibawa ke dalam konteks Aceh yang lebih luas, para santri sudah terbukti selalu menjadi benteng bangsa dari kehancuran dan kerusakannya. 

Jadi, dengan demikian, apakah calon pemimpin ideal untuk Aceh di masa depan ada pada sosok ulama yang didukung secara ikhlas oleh kelompok santri sebagai pendukung utamanya? Biarlah waktu yang akan menjawab. [Izzuddin]

Posting Komentar untuk "Sosok Ideal Gubernur Aceh ke Depan Harus Selesai dengan Dirinya Sendiri, Keluarga dan Kelompoknya"