Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tiga Pilar Pendidikan Tinggi di Kopelma Darussalam

Tugu Kopelma Darussalam, menyiasaka wasiat penting bagi generasi muda Aceh. Foto: acehkini/kumparan.com

Oleh Jamaluddin Thaib, MA

Ketua STAI Tgk Chik Pante Kulu, Darussalam, Banda Aceh

Suara Darussalam | Visi-misi dan cita-cita  A. Hasyimy dan pendiri  Kota Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam sebagai pusat  Pendidikan Aceh dan Jantung Hate rakyat Aceh, merupakan sebuah  khazanah  dan wasiat  yang tidak boleh dilupakan. 

Dulu, pada Tanggal 1 Februari 1958 diadakanlah musyawarah penting di Aula Penguasa Perang Daerah Aceh (PEPERDA) yang dihadiri oleh A. Hasjmy sebagai Gubernur, Syamaun Ghaharu sebagai PEPERDA  dan tokoh-tokoh Aceh lainnya. 

Tujuannya adalah untuk mengajak dan menyamakan pandangan para pemimpin dalam membangun  Aceh  wabil khusus sektor  pendidikan, walaupun  situasi  sedang konflik saat itu.

Keputusan   yang dicapai dalam rapat tersebut antara lain adalah perlu dibangun  segera sebuah “pusat pendidikan”  di ibu kota Daerah Istimewa Aceh, yang dinamakan  “Kopelma Darussalam” (Kota Pelajar dan Mahasiswa Darussalam).

Lalu dibentuklah badan-badan pelaksananya seperti  YDKA  (Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh)  dan KPKD (Komisi Pencipta Kopelma Darussalam) sebagai langkah awal.  (A. Hasjmy, 1985; 541). Di samping juga mengajak rakyat Aceh agar bersama-sama bergotong royong dalam pembangunannya. 

Tepat pada Tanggal  17 Agustus 1958 dilakukanlah peletakan batu pertama pembangunan tugu “Kopelma Darussalam” oleh Menteri Agama Mohd Ilyas atas nama Pemerintah Pusat.

Setelah selesai pembangunannya, tepatnya Pada Tanggal 2 September 1959  diresmikanlah “Kopelma Darussalam” yang ditandai dengan pembukaan selubung tugu “Kopelma Darussalam” yang sekaligus peresmian Fakultas Ekonomi sebagai fakultas pertama yang dibangun di “Kopelma Darussalam” yang kemudian menjadi fakultas pertama dalam lingkungan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). (Komisi Redaksi, 1969;161).

Sebulan setelah peresmian tersebut  Ali Hasyimy kemudian menjadikan tanggal  2 September  sebagai  “Hari Pendidikan Daerah Istimewa Aceh” (Hardikda) sesuai dengan SK Gubernur Aceh tanggal 5 Oktober 1960 No. 90/1960. Hardikda ini kemudian dirayakan setiap tahunnya di seluruh Aceh. (Komisi Redaksi, 1969; 161) 

Pada saat yang hampir bersamaan  A. Hasjmy juga mengusulkan  pembangunan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry yang merupakan Perguruan Tinggi Agama Islam di lingkungan “Kopelma Darussalam”  yang pertama di Banda Aceh.

Menurut pengakuan A. Hasjmy sendiri sebagaimana dikutip Soufyan Hamzah, bahwa sebelum perang  PUSA yang dipimpin Teungku Muhammad Daud Beureueh sudah direncanakan untuk membangun sebuah Universitas Islam di Aceh, namun belum terlaksana karena meletusnya perang tersebut.

Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, pada 2 September 1959 setelah  peresmian  Kopelma Darussalam,  A.Hasjmy atas nama rakyat Aceh memohon kepada Presiden Soekarno agar di Aceh juga   dibangun satu Universitas Islam Negeri atau sekurang-kurangnya  Fakultas Agama Islam Negeri (FAIN).

Sehingga pemerintah kemudian mengeluarkanlah SK Menteri Agama (SKMA) No.48/1959 tanggal 1 November 1959  sebagai cabang IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Yogyakarta sesuai dengan SKMA tanggal 12 Agustus 1960,  No. 40/1960 di bawah  Departemen Agama.

Usaha mencerdaskan dan memajukan  masyarakat Aceh melalui pembangunan  dua pilar Pendidikan Tinggi di atas  dirasakan masih  belum lengkap dan belum sempurna, Unsyiah merupakan institusi pendidikan tinggi yang cenderung dianggap sebagai pendidikan umum,  sementara IAIN Ar-Raniry  yang  merupakan institusi pendidikan  tinggi  agama yang cenderung mengikuti sistem madrasah dan  kurikulumnya sudah bercampur dengan pendidikan umum. 

Sementara di Aceh sudah ada sistem pendidikan dayah (pesantren)  yang  sudah dikenal  berabad-abad  lamanya dan  telah melahirkan banyak ulama dan tokoh-tokoh.

Oleh  karena itu, sebagai wujud kesempurnaan tersebut, maka diusulkan sebuah institusi pendidikan tinggi baru dengan  mengikut sistem pendidikan dayah di Kopelma Darussalam dengan nama  “Dayah Manyang Teungku Chik Pante Kulu (DMTCPK)”.

Pembangunan DMTCPK yang bertujuan untuk menghasilkan ulama-ulama Islam yang sesuai dengan sebutan  Pewaris para Nabi, memiliki ilmu pengetahuan Islam dan menjadi teladan bagi seluruh ummat manusia.

Sehingga  pada 17 Maret 1962 dibuat SK No. 38/1962 mengenai susunan Panitia Persiapan Pembangunan  DMTCPK yang terdiri dari para tokoh, cendekiawan dan ulama.  Sedangkan Ketua Panitia ditunjuk Kepala Staf Kodam I/Iskandar Muda, Nyak Adam Kamil. Lalu pada tanggal 31 Agustus 1968 (7 Jumadil Akhir 1388 H) DMTCPK diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Dengan peresmian ini, maka  akhir tahun 1968 DMTCPK mulai melangsungkan kegiatan belajar mengajar mengikut  sistem pendidikan dayah  dengan beberapa ketentuan, yaitu; 1. Murid yang diterima adalah murid yang sudah tamat belajar kitab Fath  al-Mu’in  atau yang sederajat dengannya di semua  dayah lainnya; 2. Lama  belajar lima tahun dengan lima belas macam ilmu.  3.  Akan diberikan gelar  ulama setelah selesai  ujian akhir. (Komisi Redaksi, 1969; 293).

Namun dalam perjalannya  bahwa, DMTCPK tetap dalam berstatus swasta, berbeda dengan unsyiah dan IAIN Ar-Raniry yang berstatus negeri sehingga perkembangannya sangat melambat, sehingga tahun 1972 kurikulum DMTCPK terpaksa disamakan dengan kurikulum Fakultas Usuluddin dan pada tahun 1974 kurikulumnya dirubah lagi mengikut kurikulum Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry. (Darmuni Daud, 1980; 86)

Dengan perubahan ini, maka  alumni DMTCPK sama dengan alumni  Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry. Kini, DMTCPK sudah ditutup. Sebagai gantinya di komplek DMTCPK dibangun dua Sekolah Tinggi, yang kedua-duanya berstatus swasta, yaitu Sekolah Tinggi Agama Islam Teungku Chik Pante Kulu yang terdiri dari tiga jurusan; Jurusan Pendidikan Agama Islam, Jurusan al-ahwāl al-shakhshiyyah dan Jurusan Hukum ekonomi Syari’ah (HES)  dan Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan. 

Untuk mengupgrade kembali sejarah tersebut,  pada Tanggal 18 Februari 2018, STAI tgk Chik Pante Kulu membuat diskusi Publik dengan tema “ Sinergisitas Tiga Poros Pendidikan di Darussalam; Sejarah dan masa Depannya.

Diskusi ini diisi oleh tokoh-tokoh dan sebagiannya terlibat langsung  dalam proses menelurkan Dayah manyang Tgk Chik Pante Kulu, di antaranya, Bapak Prof. Dr. Syamsudin Mahmud, Bapak Badruzzaman (MAA).

Selain itu juga hadir Rektor UIN Ar-Raniry saat itu, alm. Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA dan Rektor Unsyiah yang saat itu diwakili oleh Warek tiga bidang kemahasiswaan Bapak Prof. Dr. Ir. Alfiansyah Yulianur, Bapak M.Nasir Djamil, M.Si.

Dalam diskusi tersebut terungkap berbagai persoalan dan sejarah yang mungkin oleh sebagaian anak muda dan masyarakat belum mengetahui dan bahkan belum pernah mendengarnya.

Dan ternyata dalam perjalanannya juga menyimpan berbagai masalah, yang salah satunya adalah persoalan pembagian lahan dan tapal batas kampus ketiganya.

Menurut data yang disampaikan oleh Bapak Badruzzaman bahwa tanah yang ditempati oleh Yayasan Tgk Chik Pante Kulu  adalah tanah bekas mesjid tua seluas 7000 M, yang pada tahun 1968 tanah tersebut dialih hak pakai dan  kepemilikan oleh  masyarakat tungkop kepada yayasan Tgk Chik Pante Kulu, dengan kompensasi sumbangan sebesar 30 juta  yang digunakan untuk pembangunan mesjid baru di kemukiman Tungkop Kecamatan Darussalam, di samping juga pihak yayasan  Tgk Chik Pante Kulu membantu dana sesuai dengan kemampuan untuk membantu pembangunan mesjid setiap tahunnya.

Penyampaian tersebut juga diperkuat oleh  dokumen yang ada bahwa penandatanganan perjanjian tersebut ditandatangani oleh beberapa tokoh, di antaranya Asnawi Hasjmy, SH, H. bahruzzaman, SH, Tgk.H. Hasan Saleh dan beberapa lainnya (Lihat Perjanjian Naskah Kerjasama tentang Tanah Bekas Mesjid Tuha).

Oleh karena itu bila dilihat pada sejarah dan peta tanah tersebut maka sebagian tanah milik Yayasan Tgk Chik Pante Kulu sudah berada di lokasi Komplek Perumahan Dosen Unsyiah, hal itu diperkuat lagi dengan bangunan permanen Asrama Putri Tgk Chik Pante Kulu yang masih berdiri kokoh di sana tidak jauh dari lokasi STAI Tgk Chik Pante, yang hingga hari ini masih dipertanyakan.

Pernyataan yang senada  juga disampaikan oleh Rektor UIN Ar-Raniry saat itu, alm. Prof. Dr. Farid Wajdi Ibrahim, MA  dimana saat itu beliau mengatakan bahwa komplek perumahan dosen UIN Ar-Raniry  berdasarkan dokumen yang diberikan oleh Pemerintah (Gubernur Aceh) pada Tahun 1986 dan dua asrama putra dan putri di belakang Fakultas Ekonomi unsyiah adalah miliknya UIN Ar-Raniry, oleh karena itu perlu adanya tapal batas yang jelas  dan duduk bareng dalam persoalan lahan ini lanjut Pak Rektor UIN.

Namun hal yang sedikit berbeda apa yang disampaikan oleh warek tiga Unsyiah Bapak Dr. Ir Alfiansyah Yulianur, beliau menyampaikan bahwa sudah puluhan Tahun  tinggal di Darussalam, tapi belum pernah dapat informasi yang utuh terkait dengan cerita berdirinya kopelma Darussalam.

Karena itu beliau sebagai warek tiga saat itu yang membidangi bidang kemahasiswaan kedepan berjanji mengajak mahasiswa STAI Tgk Chik Pante Kulu untuk ikut serta dalam pengembangan bidang kemahasiswaan yang kalau dengan UIN telah sering dilakukan bersama-sama. dan terkait dengan persoalan lahan, tentunya akan kami sampaikan kepada pimpinan.

Menyikapi persoalan ini, Bapak Nasir Djamil, M.Si, dalam kapasitas sebagai Anggota DPR RI waktu itu menyarankan kepada pemerintah Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, karena dalam sejarah bahwa pencetusan Kopelma Darussalam juga oleh Pemerintah, karena itu beliau mengusulkan dibentuknya sebuah badan atau lembaga atau apapun namanya semacam Badan Pengelola Kopelma Darussalam.

Badan ini yang fungsinya tidak hanya menyelesaikan persoalan administrasi dan lahan  ketiga lembaga di Jantong Hate Rakyat Aceh ini, tapi lebih dari itu, adalah mendorong dan menjaga sejarah serta cita-cita luhur para pendahulu kita dalam melahirkan Kopelma Darussalam, sebagai kota pelajar dan mahasiswa untuk  generasi-generasi yang akan datang.

Posting Komentar untuk "Tiga Pilar Pendidikan Tinggi di Kopelma Darussalam"