Ketika Intelektual Berhenti Berpikir
Ketika Intelektual Berhenti Berpikir
Oleh: Dr. Muhammad Ichsan Thaib, S.Pd.I,M.Ag
Dosen
UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Aceh adalah tanah yang kaya sejarah, identitas, dan
semangat juang. Dalam catatan panjang perjuangan bangsa ini, kaum intelektual
Aceh pernah memainkan peran penting sebagai penjaga nurani, penggerak
perubahan, dan penyambung lidah masyarakat.
Namun hari ini, kita layak bertanya dengan getir: ke
manakah suara-suara itu? Di manakah para cendekiawan Aceh yang berpikir dan
bersuara atas nama kebenaran?
Di tengah hiruk-pikuk politik lokal dan derasnya
aliran proyek pembangunan, sebagian intelektual justru tampak lebih nyaman
menunggu “uang masuk ke rekening” daripada bersikap kritis terhadap ketimpangan
yang terjadi di depan mata.
Mereka hadir dalam seminar, menjadi konsultan
kebijakan, bahkan mengisi mimbar-mimbar ilmiah—namun kerap kali absen ketika
dibutuhkan untuk membela nilai-nilai moral, agama, dan keadilan sosial.
Fenomena ini mencerminkan krisis peran intelektual
yang cukup serius. Kaum terpelajar, yang seharusnya menjadi penjaga akal sehat
publik, justru terjebak dalam kenyamanan sistem birokratis.
Banyak dari mereka kehilangan keberanian untuk berbeda
pendapat, takut kehilangan akses ke sumber dana, atau terperangkap dalam
jejaring kekuasaan yang meninabobokan.
Di Aceh, fenomena ini terasa lebih ironis. Kita hidup
di daerah yang mengusung Syariat Islam sebagai dasar hukum. Namun semangat
Islam sebagai kekuatan moral justru kerap redup dalam praktik sehari-hari,
karena minimnya kontrol dari kalangan intelektual.
Ketika agama hanya dipakai sebagai simbol legitimasi
kekuasaan, dan bukan sumber nilai-nilai keadilan, maka yang lahir bukanlah
masyarakat madani, melainkan masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan.
Pertanyaannya: mengapa para intelektual bisa sampai
pada titik ini?
Sebagian jawabannya bersifat sistemik. Dunia
pendidikan tinggi yang seharusnya melahirkan pemikir bebas justru lebih sibuk
mengelola akreditasi, proyek riset, dan kegiatan seremonial. Budaya patronase
yang mengakar kuat juga membuat banyak dosen atau akademisi enggan mengambil
risiko intelektual. Mereka yang mencoba berbeda pendapat kerap disingkirkan
secara halus—baik dari lingkaran diskusi, ruang publik, maupun akses kekuasaan.
Namun sebagian lainnya adalah soal pilihan pribadi:
antara keberanian dan kenyamanan.
Maka, kita membutuhkan gelombang kesadaran baru di
kalangan intelektual muda Aceh. Harus ada keberanian untuk berpikir secara
merdeka, berbicara atas nama nilai, bukan kepentingan. Harus ada ruang publik
yang jujur dan terbuka bagi perbedaan pendapat.
Dan harus ada keinginan bersama untuk mengembalikan
peran intelektual sebagai pengawal akal sehat, bukan sekadar pencatat
statistik.
Aceh tidak kekurangan orang pintar, tetapi mungkin
kekurangan orang yang berani menggunakan kepintarannya untuk membela yang
lemah, menegur yang salah, dan membela yang benar—meski tidak menguntungkan.
Kita harus ingat: jika intelektual berhenti berpikir,
maka masyarakat akan berhenti berharap. Dan ketika harapan mati, maka
kehancuran tinggal menunggu waktu.
Posting Komentar untuk "Ketika Intelektual Berhenti Berpikir"