Hadirnya Huruf Arab Jawi- Jawoe di Nusantara
Oleh: T.A. Sakti
SEIRING kedatangan agama Islam di Aceh, terjadilah islamisasi dalam segala bidang kehidupan, termasuk dalam bidang seni-budaya, misalnya digunakan huruf Arab dalam hal penulisan. Sesudah dibuat penyesuaian seperlunya, huruf Arab ini diberi nama huruf Arab Melayu (huruf Jawi, bahasa Aceh: harah jawoe).
Penulisannya menggunakan bahasa Melayu dan bahasa Aceh (dan bahasa daerah lainnya) dengan tulisan tangan; khusus bagi bahasa Aceh amat langka dijumpai yang sudah tercetak (AD Pirous, 2006: 255).
Sisi lain pengaruh islamisasi terhadap sastra Aceh adalah melahirkan sastra agama atau ‘hikayat agama’, baik yang berbentuk nadham maupun tambeh
. Sementara terhadap hikayat dilakukan berbagai penyisipan sehingga tidak lagi bertentangan dengan ‘aqidah Islam. Sebagai sumber informasi seluk-beluk agama Islam, pada masa lampau sastra agama dipelajari masyarakat Aceh baik melalui lembaga-lembaga pendidikan masa itu seperti di meunasah, mesjid, dayah dan rangkang ataupun Bale Seumeubeuet (Balai pengajian).
Hasil dari mempelajari itu, sebagian orang kadang-kadang bisa menghafal sebagian besar isi naskahnya. Kandungan isi sastra agama adalah berbagai ajaran agama Islam seperti hukum, akhlak, tasawuf, filsafat dan sebagainya.
Begitu pula dengan hikayat, isinya banyak mengandung nasihat, petuah, dan sebagainya (LK. Ara, 1995: 504).
Asal Mula Huruf Arab Melayu
Berdasarkan berbagai penyelidikan yang telah dilakukan para sarjana, penulis menjadi yakin bahwa huruf Arab Melayu yang berkembang di Nusantara/Asia Tenggara berasal dari Aceh. Daerah Aceh merupakan daerah pertama masuk dan berkembangnya Agama Islam untuk kawasan Asia Tenggara.
Hampir semua sejarawan Barat dan Timur berkesimpulan demikian. Bersamaan masuknya Islam ke Aceh, maka masuk pula bacaan huruf Arab ke dalam kehidupan masyarakat Aceh, antara lain melalui kitab suci Al-Qur’anul Karim. Bersumber huruf Arab Melayu itu, lambat laun berkembanglah penulisan Arab Melayu tersebut. (Mohd. Syukri Yeoh, 2011: 5).
Sejauh bukti yang tersedia hingga hari ini, penulis pertama alias pencipta huruf Arab Melayu adalah Abu Ishak Al Makarany yang mengarang kitab Idhharul Haq fi Mamlakatil Perlak wal Pasy, yakni tentang sejarah Kerajaan Peureulak dan Pasai.
Kitab ini ditulis dalam huruf Arab Melayu. Semua kitab lain yang tertulis dalam huruf Arab Melayu diyakini ditulis setelah penulisan kitab Idhharul Haq itu (Serambi Indonesia, 4 April 1994). Pendapat ini tentu masih perlu dikritisi oleh para ahli.
Sejarah mencatat, bahwa di Aceh telah berkembang beberapa kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Peureulak, Kerajaan Pasai, Kerajaan Benua, Kerajaan Linge, Kerajaan Pidie, Kerajaan Lamuri, Kerajaan Daya dan terakhir kerajaan Aceh Darussalam.
Di Kerajaan-kerajaan itu, banyak melahirkan para Ulama yang sebagiannya berbakat mengarang. Melalui tangan-tangan terampil inilah telah ditulis beratus-ratus buah kitab dan karangan dalam bahasa Melayu, Arab dan bahasa Aceh.
Tulisan yang digunakan adalah tulisan Arab dan tulisan Jawi (Arab Melayu). Dalam hal ini kita dapat menyimak halaman terakhir kitab Fat al-Mubin ala `i-Mulhidin karya Nuruddin Ar-Raniry yang menyatakan bahwa
kitab ini dikarang untuk dikirim kepada: ……… segala saudaraku yang ada di Pulau Aceh, dan yang di Negeri Kedah, dan yang di Pulau Banten, dan yang di Negeri Patani, dan yang di Pulau Mengkasar, dan yang di Negeri Johor, dan yang di Negeri Pahang, dan yang di Negeri Senggora(di negara Thailand-sekarang), dan pada segala Negeri di bawah angin”(Teuku Iskandar, 1996: 408).
Dengan beredarnya kitab Nuruddin Ar-Raniry tersebut di atas, maka berkembang pula penulisan Arab Melayu (huruf Jawi) ke negeri-negeri yang bersangkutan.
Dalam Kerajaan Aceh Darussalam penulisan Arab Melayu juga berkembang pesat. Dalam hal ini UU Hamidy menjelaskan:
“Bahasa Melayu Aceh berperan penting dalam tradisi pemakaian Arab Melayu. Tak diragukan lagi ulama Aceh-lah yang telah memakai tulisan Arab Melayu secara luas dalam berbagai kitab karangan mereka. Dari sinilah agaknya tulisan Arab Melayu kemudian menjadi tradisi pula dalam penulisan hikayat di Aceh. Sebab itu tulisan Arab Melayu mungkin juga telah ditaja pada awalnya oleh para ulama di Aceh.
Karena tulisan ini juga mempunyai beberpa ragam (versi), maka ragam Arab Melayu yang dipakai di Aceh mungkin merupakan ragam yang tertua. Dalam bidang ini patut dilakukan penelitian yang memadai, sehingga peranan bahasa Melayu Aceh akan semakin kentara lagi di belantara perkembangan bahasa Melayu” (Serambi Indonesia, 8 Juli 2007).
Memang tidak berlebihan bila penulis berpendapat, bahwa huruf Arab Melayu di tulis pertama kali di Aceh. Sampai sejauh ini, tulisan Jawi tertua yang sudah pernah dijumpai adalah surat sultan Aceh kepada raja Inggris.
Tentang hal ini, DR. Muhammad Yusof Hashim menyebut :
“Kalau kita mengatakan bahawa naskah Melayu terawal yang pernah ditemui di awal abad ke-17, iaitu warkah daripada Sultan Aceh kepada Raja England, besar kemungkinan naskah warkah itu hanyalah naskah salinan.
Adalah mengkagumkan juga sebuah naskah di atas kertas seperti itu boleh wujud hampir empat abad lamanya, sekiranya ia betul-betul naskah yang asli”(Muhammad Yusof Hashim, 1985: 70).
Abad ke 16-17 merupakan puncak kebesaran bagi kerajaan Aceh Darussalam. Ketika itu, selain sempat diperintah beberapa Sultan terkemuka, Aceh juga telah dibimbing beberapa ulama kaliber dunia, yaitu Hamzah Fansury, Syamsudin As-Sumatra-i, Syekh Nuruddin Ar-Raniry dan Syekh Abdurrauf As-Singkily atau Syiah Kuala.
Keempat ulama Aceh ini amat banyak karangan mereka, baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Arab. Kitab-kitab tulisan keempat ulama ini tidak hanya beredar di Aceh, tetapi meluas ke seluruh Asia Tenggara dan dunia Islam lainnya.
Ditinjau dari segi perkembangan penulisan Arab Melayu dan pertumbuhan bahasa Melayu; keempat ulama Aceh inilah serta beberapa ulama Aceh lainnya; betul-betul telah berjasa dalam menyebarkan “kebudayaan” Melayu tersebut.
Sewaktu Sumpah Pemuda 1928, bahasa Melayu telah diakui sebagai Bahasa Nasional Indonesia. Karena itu tidaklah berlebihan bila kita mengatakan, bahwa orang Aceh ikut membidani lahirnya bahasa Indonesia, yakni melalui ratusan karya tulis para pujangga-ulama yang mengarang dalam bahasa Melayu dengan menggunakan tulisan huruf Arab Melayu.
Para penulis asal Aceh, sebenarnya tidak perlu malu-malu mengungkapkan “Jasa Aceh dalam Pembinaan Bahasa Indonesia”, karena Aceh memiliki banyak bukti yang dapat ditampilkan serta dapat dipertanggung jawabkan.
Tulisan Arab Melayu terus berkembang selama berabad-abad. Kehidupan masyarakat di seluruh Nusantara sudah menyatu dengan huruf Arab Melayu. Seseorang yang mampu membaca dalam huruf Jawi dianggap sebagai “orang terpandang” dalam masyarakat.
Apalagi kalau ia mampu pula menulis, tentu derajat orang yang bersangkutan semakin tinggi lagi. Oleh karena itu, masyarakat di Aceh dan daerah-daerah lain berlomba-lomba mempelajari cara penulisan Arab Melayu, karena dengan pengetahuan itu akan meningkatkan status mereka dalam masyarakat.
(Sumber: Sebuah makalah yang diringkas-disingkatkan)
Posting Komentar untuk "Hadirnya Huruf Arab Jawi- Jawoe di Nusantara"