Ketika Bahasa Aceh beranjak ke Bahasa Tulisan
Ketika Bahasa Aceh beranjak ke Bahasa Tulisan
Oleh: T.A. Sakti
Dibandingkan bahasa Melayu, bahasa Aceh termasuk lebih lambat muncul dalam bentuk tulisan. Orang dapat melacak jejak bahasa Melayu sampai abad ke 7 M, karena telah ditemukannya beberapa “batu bersurat”.
Sementara bagi bahasa Aceh – sejauh yang saya ketahui- belum dijumpai hal serupa. Bahasa Aceh lebih berperan sebagai bahasa lisan, yaitu bahasa percakapan antara warga masyarakat yang memakai bahasa Aceh.
Hal demikian dapat dimaklumi, karena para ulama Aceh dan pujangganya yang menulis kitab dan karya-karya mereka lainnya selalu menulis dalam bahasa Melayu dan Arab.
Berdasarkan beberapa sumber, awal hadirnya bahasa Aceh dalam bentuk tulisan lebih kurang sekitar 375 tahun lalu.
Naskah berbahasa Aceh pertama adalah Hikayat Malem Dagang. Ini pun kalau kita percaya pendapat Snouck Hurgronje dan H.K.J. Cowan yang mengatakan Hikayat Malem Dagang telah ditulis pada abad 17.
Tetapi, menurut Mark Duree ahli bahasa Aceh asal Australia, menyebutkan Hikayat Syamaun sebagai hikayat pertama yang ditulis di Aceh. Ia mengkaji hikayat milik Museum Aceh, Banda Aceh. Namun, saya belum sempat membaca hikayat koleksi museum itu.
Hikayat Syamaun koleksi “Rumoh Manuskrip” Tarmizi Hamid yang sudah saya baca pada saat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA- 8) 2023, menyebut tahun penyalinannya 1287 H(akhir abad 19), dua tahun sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh 1289 H. Berarti itu bukan naskah tertua.
Perkembangan penulisan bahasa Aceh juga dapat kita lacak melalui berbagai kitab yang tertulis dalam bahasa Melayu, khususnya kitab-kitab tulisan tangan.
Mula-mula bahasa Aceh, terlihat sebagai ‘sandingan’ bahasa Melayu. Saya sebutkan sandingan, berarti bahasa Melayu tetap ditulis, tapi di bawahnya ditulis bahasa Aceh satu-dua kata.
Para ulama Aceh zaman itu dalam menulis
kitab berbahasa Melayu( atau penyalin ulang) di sana-sini menyelipkan bahasa Aceh, bukan pada setiap halaman tapi dalam selang beberapa halaman kitabnya.
Begitu yang saya lihat di banyak kitab tulisan tangan berbahasa Melayu yang ditulis dengan huruf Arab Melayu atau Jawi alias harah Jawoe.
Pada abad ke 13 H atau awal abad 19 M, barulah hadir kitab dan karya tulis dalam bahasa Aceh, berupa kitab agama dan hikayat. Saya memiliki karya Syekh Abdussalam—kakek Teungku Chiek Di Tiro ( Pahlawan Nasional asal Aceh) seperti Tambeh Tujoh ( 1208 H).
Syekh Jalaluddin Lam Gut menyadur Kitab Tanbihul Ghafilin tahun 1242 H( 1827 M). Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum menulis Hikayat Akhbarun Na’im ( 1269 H). Syekh Ismail Asyi menulis Kamus Empat Bahasa, yakni bahasa Arab, Turki, Melayu dan bahasa Aceh di Mesir juga pada abad 19 M.
Kemudian, Teungku Abdullah Arif, MA (Aceh: Cong/cicit Syekh Jalaluddin Lam Gut (Aceh Besar) menulis kitab “Masailai Meunadham” tahun 1948 M. Selain kitab-kitab agama, penulisan hikayat juga amat semarak ketika itu.
Perkembangan penulisan bahasa Aceh mulai saat itu sangatlah maju. Hampir semua hal kehidupan orang Aceh masa itu sudah tertulis dalam bahasa Aceh, seperti dalam Tambeh, Nazam dan kisah-kisah hikayat.
Hampir semua kita sudah memahami, bahwa pe
nulisan bahasa Aceh itu seluruhnya dalam bentuk syair. Hal demikian memang permintaan zaman saat itu. Sesuatu yang ditulis dalam bentuk syair, pasti mudah dipahami dan mudah terhafal oleh pembacanya.
Begitulah format hikayat, nadham, tambeh dan like/lagu harian; semuanya dalam bentuk syair. Hal demikian berlangsung puluhan tahun bahkan melintasi abad.
Begitu gemar dan fasihnya para pengarang Aceh masa dahulu mengarang segala hal dalam bentuk syair, sampai-sampai kitab ramuan obat pun ditulis dalam syair hikayat dalam huruf Jawi-Jawoe.
Satu-satunya kitab obat herbal itu berjudul “Kisah Afrahu Tabib”. Informasi ini dapat dijumpai dalam disertasi Prof. Imran T. Abdullah yang berjudul Hikayat Meukuta Alam. Kitab ini milik Pustaka Universitas Leiden, Belanda.
(Dalam bulan April 2025, saya baru melihat tiga halaman naskah Kisah Afrahu Tabib, yang dikirimteman saya Syukri Rizki dari Universitas Leiden, Belanda).
Dalam kondisi demikianlah, keluar pernyataan Prof. A.Hasjmy, bahwa: tulisan bahasa Aceh seluruhnya tertulis dalam bentuk syair-bersanjak, nyaris tidak ada dalam bentuk prosa.
Sebagai pengagum Prof. A.Hasjmy saya coba menelusuri “kembali” apa yang telah disimpulkan beliau.
Setelah waktu berlalu bertahun-tahun, saya tak pernah menjumpai satu pun naskah kitab bahasa Aceh dalam bentuk prosa.
Suatu sore seseorang membawa sebuah manuskrip besar ke tempat saya. Tujuannya agar saya sudi membacanya. Diantara beberapa kitab dalam buku tebal itu, saya tertarik pada dua buah kitab, yakni “Umdatun Muhtajin” karya Syiah Kuala dan kitab Qawa ‘Idul Islam.
Kitab Qawa’idul Islam amat menarik bagi saya. Isinya mengenal dasar-dasar Ilmu Tauhid, tapi penulisannya dalam bentuk prosa dalam tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Melayu dan bahasa Aceh. Dengan demikian terjawablah sedikit kata “nyaris tidak ada” dari pernyataan Prof. A. Hasjmy itu.
Niat saya untuk transliterasi kitab itu cukup menggebu-gebu. Betapa tidak, sesuatu yang selama ini saya anggap,”nyaris tak ada” ternyata sudah terhantar di depan saya. Sungguh batin saya sangat berbunga-bunga.
Kitab Qawa’idul Islam yang dalam istilah C. Snouck Hurgronje disebut juga Kitab Bakeumeunan, karena di banyak halaman tertulis kata “Bakeumeunan” sebagai tanda dimulainya suatu masalah baru/hal lain.
Selesai kami salin dan alih aksara ke huruf Latin (bersama Tgk Mhmd. Kalam Daud), maka kitab itu memiliki dua jenis huruf, yaitu huruf Arab Melayu dan Latin.
Beberapa tahun kemudian diterbitkan oleh Pustaka Wilayah Provinsi Aceh.
Alhamdulillah, mimpi Prof. A.Hasjmy dan T.A. Sakti terbukti adanya. Bahwa telah ditemukan dan diterbitkan pula sebuah kitab yang bertuliskan bahasa Aceh dalam bentuk prosa.
Pada awal tahun 2020 M – sebelum penyakit ta’eun merebak, sahabat saya Iqbal Hafidh dan dr. Nabil Berry membawa beberapa lembar naskah lama yang telah diedarkan secara online oleh British Library ke tempat saya di Bale Tambeh.
Saya amat tertarik dengan lembaran manuskrip ini karena sebagian tertulis dengan bahasa Aceh dalam bentuk prosa.
Bahasa Aceh prosa ini bisa dijumpai di sana-sini dalam Kitab ‘Aqidatul ‘Awam itu. Sementara sebagian besar isinya masih tertulis dalam bentuk syair hikayat.
Dalam manuskrip itu juga dapat kita jumpai nama penulisnya, yaitu Haji Syekh Saman Tiro, yang sekarang lebih populer dengan gelar Teungku Chiek Di Tiro-Pahlawan Nasional RI asal Aceh.
Selain menulis kitab agama, selama memimpin peperangan Teungku Chiek Di Tiro juga menulis karya yang berjudul “Nasha’ihul Ghazat”(Nasehat Peperangan).
Sayang sekali, setelah dikaji oleh Prof.Dr. Imran T.Abdullah dosen UGM Yogyakarta yang diambil dari Pustaka Leiden ( Belanda), tak ada yang menerbitkan setelah sang Profesor meninggal dunia.
Menurut keterangan Iqbal Hafidh, Kitab ‘Aqidatul Awam ini tebalnya 190 halaman. Keseluruhan isinya mengenai seluk-beluk Agama Islam.
*Penulis: Peminat bahasa dan sastra Aceh, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie.
Menyambut Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Aceh di Universitas Bina Bangsa Getsempena (UBBG), Banda Aceh:
Perkembangan Bahasa dan Sastra Aceh dari Abad 17 Hingga Abad 20
Oleh: T.A. Sakti
Prof. Ali Hasjmy, salah seorang Angkatan Pujangga Baru Indonesia asal Aceh dan mantan Gubernur Aceh pernah menyatakan penyesalannya karena tidak mempedulikan bahasa Aceh.
“Setelah Indonesia merdeka, kata pakar budaya itu, sebuah kesalahan telah dilakukan oleh generasi Aceh, termasuk dia sendiri.
Ketika itu pimpinan Aceh telah melalaikan bahasa Aceh dan huruf Arab Melayu” (Lihat: Sastra Aceh Mundur, Mengapa?, Serambi Indonesia, Minggu, 15 Juli 1990 halaman 6).
Akibat kelalaian itu, kini di abad ke 21 bahasa Aceh mengalami kemunduran yang parah. “...setelah 40 tahun merdeka, sebagian orang Aceh tidak mampu lagi berbahasa Aceh, hikayat-hikayat Aceh
sebagai puncak kesusastraan (karena dalam bahasa Aceh tidak ada prosa) sekarang tidak bisa lagi ditulis dan dibaca oleh generasi muda Aceh” sebut A.Hasjmy dengan raut wajah kecewa; kepada Ameer Hamzah, wartawan Serambi Indonesia yang berbincang dengan beliau.
Padahal sejak abad 17, 18, 19 sampai pertengahan abad 20; bahasa Aceh terus bergerak-menanjak, nyaris sama dengan bahasa Melayu yang sejak negeri ini merdeka menjadi Bahasa Nasional Indonesia.
“Hikayat Aceh”, yang sudah diakui Unesco sebagai Memori Warisan Budaya Dunia sejak 24 Mei 2023 adalah karya sastra bahasa Melayu abad ke 17. Tapi, dalam disertasi Teuku Iskandar mengenai Hikayat Aceh, kita menjumpai banyak penggunaan bahasa Aceh di dalamnya.
Dalam hitungan saya ada 27 kata bahasa Aceh yang dimasukkan ke dalam Hikayat Aceh yang berbahasa Melayu itu, mulai jurong (lorong) sampai on keureusong (daun pisang kering).
Dalam abad ke 18, perkembangan bahasa Aceh juga kita temui dalam berbagai kitab yang ditulis dalam bahasa Melayu. Selipan bahasa Aceh nampak di sana-sini, bukan pada setiap halaman melainkan dalam selang beberapa halaman kitabnya.
Bahasa prosa
Masuk abad ke 19, kita menjumpai Kitab Qawa’dul Islam atau lebih dikenal dengan “Kitab Bakeumeunan”. Kitab Bakeumeunan adalah karya Teungku Muhammad Ali Lamnyong, Banda Aceh.
Karya ini ditulis dalam tiga bahasa, yaitu Melayu, Aceh dan Arab. Pentingnya kitab ini karena ditulis dalam bentuk prosa (Arab: nasar).
Dengan demikian, dalam bahasa Aceh juga terdapat bentuk bahasa prosa, bukan semata syair-puisi.
Inilah satu-satunya karya dalam bahasa Aceh yang ditulis dalam jenis prosa yang sudah saya jumpai.
Pada awal abad ke 19 M atau abad 13 H, lahirlah karya tulis yang utuh dalam bahasa Aceh, berupa kitab agama dan hikayat. Semua karya itu dalam genre sastra, bersyair.
Saya memiliki kitab karangan Syekh Abdussalam bin Leube Polem—kakek Teungku Chiek Di Tiro ( Pahlawan Nasional RI asal Aceh) seperti Tambeh Tujoh ( 1208 H), Hikayat Nasihat, Nazam Ruba’i, Nazam Meulakee, Hikayat Qaulur Ridhwan( 1220 H), dan Tuhfatul Ikhwan (1224 H), yang sebagian telah diterbitkan.
Mengenai kondisi Aceh saat itu, dalam Tuhfatul Ikhwan disebutkan, bahwa pada tahun 1220 H Sultan Aceh sudah mengungsi dari Dalam (istana), karena dikejar rakyatnya yang menuntut keadilan.
Syekh Jalaluddin alias Teungku Chiek Di Lam Gut, menyadur Kitab Tanbihul Ghafilin dari bahasa Arab ke bahasa Aceh bersyair tahun 1242 H( 1827 M). Naskah ini tebalnya 95 bab dengan judul tetap seperti aslinya.
Cukup banyak masalah yang dibahas dalam manuskrip ini. Tapi, ada satu hal yang kurang diketahui orang sampai sekarang.
Yakni, di antara 95 bab isinya terdapat 6 bab yang mengulas mengenai “prang Sabi” (perang di jalan Allah, melawan musuh sang penjajah).
Pembahasan terkait perang sabil tercantum dalam bab 70, 71, 72, 73, 94 dan 95.
Inilah cikal-bakal Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil) di Aceh, yang membuat pihak Belanda nyaris lumpuh dalam melawan “Ureueng Muslimin” Aceh (gerilyawan Aceh).
Jadi boleh diumpamakan,46 tahun sebelum Belanda menyerang Kerajaan Aceh Darussalam tahun 1873; Tengku Chiek Di Lam Gut sudah mempersiapkan “rudal” untuk melawan agressor Belanda itu.
Kamus Aceh
Di pertengahan abad ke 19, sebuah kitab bahasa Aceh versi syair ditulis di Krueng Kale, Aceh Besar. Karya yang bernama Hikayat Bahasa Jawoe ini ditulis Syekh Muhammad Sa’id Ibnu Abbas Krueng Kale.
Buat masa sekarang, Hikayat Bahasa Jawoe adalah Kamus Bahasa Melayu – Aceh. Akan tetapi buku kamus itu ditulis dalam jenis syair.
Pada era zaman yang bersaman, Syekh Abdullah bin Ismail Asyi yang puluhan tahun bermukim di kota Qahirah-Cairo, Mesir, telah menulis pula kamus dalam empat bahasa, yaitu bahasa Aceh – Melayu- Arab – dan Turki.
Wujudnya kamus empat bahasa ini, yang bahasa Aceh termasuk di dalamnya, telah mempertinggi citra dan wibawa bahasa Aceh ketingkat global, internasional.
Radio dan pesawat
Syekh Abdussamad alias Teungku Di Cucum menulis beberapa karya dalam bahasa dan sastra Aceh.
Hanya empat karangan beliau yang baru saya kenali, yaitu Tambeh Tujoh Blah (1257 H), Hikayat Akhbarun Na’im ( 1269 H), “Tambeh Gohna Nan” dan Firatas Salam.
Hal yang menakjubkan dalam “Tambeh Gohna Nan” yaitu adanya mengenai “ramalan” masa depan perkembangan teknologi dan kondisi politik di beberapa negeri.
Mengenai perkembangan teknologi, hal yang paling mengejutkan akan adanya radio dan pesawat terbang.
Dijelaskan dalam syair itu, bahwa ada sebuah kotak persegi empat, yang bisa bercakap bermacam bahasa. Serta sebuah “rumah” yang bisa terbang cepat ke negeri-negeri yang jauh.
Itulah kelebihan ulama kasyaf yang tembus padang terhadap peristiwa yang belum terjadi.
Tahun 1307 H atau 1889 M saat perang Belanda di Aceh sedang berkecamauk lahir pula sebuah “hikayat perang” karangan Syekh Muhammad Abbas Kutakarang.
Karya Teungku Chiek Kutakarang ini berjudul “Tadhkirat Al-Raqidin”(Peringatan Bagi Orang-orang yang Tidur).
Bahasa utama karya ini adalah bahasa Melayu, tapi cukup banyak “diselipkan” bahasa Aceh. Menurut hitungan saya, 156 kata bahasa Aceh dimuat dalam naskah tadhkirat Al-Raqidin, yang berarti bahasa Aceh ikut memperkaya bahasa Melayu dalam naskah itu.
Teungku Chiek Kutakarang juga menganjurkan, agar khubtah Jum’at disampaikan dalam bahasa Aceh.
Dalam masa perang itu banyak pula ditulis Hikayat Prang Sabi oleh para ulama dan pujangga Aceh.
Salah satu karya sastra Aceh yang amat penting adalah
Kisah Afrahu Tabib. Isinya mengenai Kesehatan dan Kedokteran. Naskah lengkap hanya ada di Pustaka Universitas Leiden, Belanda.
(Tambeh: Pada bulan Sy’akban 1446 H, kitab yang sangat tak lengkap ini telah dikirimkan oleh seorang teman dari Universitas Leiden secara digital kepada saya).
Kemudian, Teungku Abdullah Arif, MA (Cong/cicit Syekh Jalaluddin Lam Gut, menulis kitab “Masailai Meunadham” dalam huruf Jawoe tahun 1948 M. Kitab ini dicetak di Pulo Pinang (Penang, Malaysia).
Abdullah Arif juga menulis banyak hikayat dalam huruf Latin, antara lain Seumangat Aceh, 12 jilid; Nasib Aceh, 6 jilid.
Perkembangan penulisan bahasa dan sastra Aceh mulai abad 17 – 20 sangatlah maju. Hampir semua hal kehidupan orang Aceh masa itu sudah tertulis dalam bahasa Aceh.
Kini, di abad 21 bahasa dan sastra Aceh dalam “sakit parah”. Adakah pihak yang sudi menolak musibah?.
*Penulis: Alumnus Fakultas Hukum USK, 2007
dan alumnus Pascasarjana – Sejarah Peradaban Islam- UIN Ar-Raniry, 2015, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie.
*Tambeh: 1) Reportase ini pernah dimuat di rubrik “Jurnalisme Warga” Harian Serambi Indonesia, Selasa, 22 Oktober 2024/19 RABIUL AKHIR 1446 H, halaman 10.
2) Bahasa Aceh Saheh Kabeh (?)
(Bahasa Aceh Menanti Punah!)
Artikel pilihan menjelang berhentinya postingan “kabar budaya Aceh” dari saya yang berlangsung lama entah sementara! (T.A. Sakti)
BERTAHUN-tahun saya belum sependapat dengan sejumlah pakar bahasa yang menyebutkan, bahwa bahasa Aceh akan punah dalam hitungan puluhan tahun akan datang, tak melewati satu abad.
Tulisan pertama yang saya baca di Opini Harian Serambi Indonesia adalah pendapat Bapak Denny Iskandar, dosen Prodi Bahasa Indonesia FKIP Universitas Syiah Kuala (USK), yang berjudul “Menunda Kepunahan”.
Kemudian, semakin lama tulisan berpandangan serupa semakin banyak. Namun, saya belum berobah pendirian bahwa “ramalan” itu akan benar-benar terjadi.
Akan tetapi dalam 2-3 tahun terakhir apa yang disentil pakar bahasa
Itu; terus terpampang di telinga dan mata saya. Maka saya pun jadi percaya.
Yaitu, di mana-mana anak-anak yang ibu-bapanya orang Aceh tidak lagi berbahasa Aceh dalam hidup kesehariannya.
......gaaawaat, berarti benar bahasa Aceh akan punah/hilang terhapus dalam waktu tidak begitu lama lagi. Boleh jadi tak sampai dua generasi lagi!.
Adakah jalan mengatasinya?. Pasti ada, sekurang-kurangnya buat memperlambat arus deras yang menggusur bahasa Aceh kita.
Bagaimana solusinya?.
Malas saya tulis, karena tak akan ada yang mempedulikannya!.
3) Rekaman video mengenai:
a. Akhbarul Karim karya Teungku Seumatang
b. Akhbarun Na’im karangan Tgk Di Cucum
c. Hikayat burung-binatang langka
d. Hikayat MoU Helsinki
e. Kitab Tazkirat Ar-Rakidin Tgk Chiek Kuta Karang
dapat Anda jumpai dalam Tiktok, Youtube, drah aceh (youtube) dan instagram dengan kunci: T.Abdullah Sakti
Blog: www.tambeh.wordpress.com
Posting Komentar untuk "Ketika Bahasa Aceh beranjak ke Bahasa Tulisan"