Manuskrip Aceh dalam Kehancuran
“Orang Aceh sangat kurang mencintai budaya daerahnya’, begitu yang tersirat dari kata sambutan Gubernur Aceh A.Hasjmy pada acara pembukaan Pekan Kebudayaan Aceh I (PKA I) hari Selasa, 12 Agustus 1958. Kritik yang diucapkan lebih 35 tahun yang lalu masih berguna hingga sekarang.
Karena sampai kini pun budaya Aceh belum terangkat kepermukaan dengan kwalitas-kwantitas yang kuat dan mapan.
Bukti yang paling nyata ialah sampai sekarang setelah daerah Aceh mempunyai lembaga perguruan tinggi hamper 35 tahun, belum ada sebuah fakultas/diploma pun yang khusus dibangun untuk mengkaji dan mempelajari kebudayaan daerah Aceh yang kaya dan majemuk itu.
Padahal di daerah-daerah lain hampir semua universitas memiliki fakultas yang materi kuliahnya tentang budaya daerah/budaya nasional baik yang bernama fakultas sastra atau fakultas sosial budaya. Malah di propinsi Jawa Tengah mempunyai dua buah fakultas sastra, yaitu Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (Undip), Semarang dan Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret (UNS) di Surakarta (Solo).
Bila di masa mendatang akan dibangun juga fakultas sastra dan bahasa Aceh misalnya, saya kira telah terlambat. Terutama karena rasa budaya Aceh di kalangan generasi muda sudah diambang kehancuran, sehingga kurang minat mereka menggelutinya. Kesenjangan lain, yakni hanya akan menambah pengangguran kalangan berpendidikan. Terkecuali, memang dipikirkan sematang-matangnya lebih dulu, sebelum lembaga studi budaya Aceh itu diwujudkan.
Seni lain dari budaya Aceh yang sedang menuju kepunahaan/kehancuran nasib buruk bagi naskah-naskah lama (manuskrip) Aceh, kita membaca berita ada ratusan naskah (semula 600 buah) hikayat Aceh yang sudah dialihkan ke huruf Latin, sudah dimakan rayap (pite dan keuraleueb) di Perpustakaan Pertamina, Jakarta (Serambi, Minggu, 31-7-1994 halaman 4-budaya). Atau berita Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang sedang mengreproduksi ratusan naskah lama bahasa Jawa, yang diantaranya termasuk naskah “Tajussalatin” yang sebenarnya berasal dari Aceh (Serambi, Minggu, 9-10-1994 hlm, 4- budaya).
Berita-berita itu mencerminkan nasib buruk manuskrip Aceh saat ini. Di desa-desa, nasib yang menimpa naskah-naskah lama juga menyedihkan. Naskah jenis apa pun seperti hikayat Aceh, nadlam, tambeh atau kitab-kitab agama yang ditulis dalam huruf Jawoe (Arab Jawi), baik dalam bahasa Arab, Melayu dan Aceh hanya disimpan di balai kandang lembu, atas kandang ayam, di sandeng dapur dan bara-bara rumoh Aceh. Kapankah datang sang Ratu Adil yang akan menyelamatkannya?.
Wassalam,
dto
T.A. Sakti
5 Januari 1995

Posting Komentar untuk "Manuskrip Aceh dalam Kehancuran"