Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Wali Nanggroe dan Peradaban Islam


Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar, saat menyampaikan pidato pertama usai dikukukan dalam sidang paripurna istimewa DPR Aceh, Senin (16/12/2013). | AtjehLINK/Arunda.
Oleh Teuku Zulkhairi
KATA-kata “mengembalikan peradaban Aceh” adalah bagian terpenting dari pidato Teungku Malek Mahmud Al-Haytar saat saat pengukuhannya sebagai Wali Nanggroe di DPRA beberapa waktu lalu. Saya membaca dengan seksama seluruh isi pidato tersebut yang dimuat di media online The Globe Journal sembari berharap bahwa keseluruhan isi pidato tersebut adalah murni cita-cita dan agenda dari beliau dan benar-benar akan diperjuangkannya setelah resmi bertugas. 

Terlepas dari pro kontra dengan status Lembaga Wali Nanggroe, yang jelas lembaga itu kini telah hadir dan tugas kita sebagai rakyat pun semakin bertambah. Jika dulu publik menjalankan fungsinya sebagai public control terhadap kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan seluruh jajaran dan lapisan birokrasinya, maka di Aceh kini  tugas masyarakat bertambah satu lagi dengan kehadiran lembaga Wali Nanggroe. 
Teuku Zulkhairi

Harapan kita, peradaban Aceh yang akan dibangun adalah peradaban Islam. Mengapa? Karena sudah jelas bahwa peradaban Aceh yang pernah jaya adalah peradaban Islam sehingga tidak mungkin kita akan bisa membangkitkan kembali peradaban Aceh jika sistem dan konsepsi Islam sebagai agama yang kita anut tidak kita transformasikan dalam semua tatanan kehidupan kita. 

Di sisi lain, mengembalikan peradaban Aceh yang Islami akan menempatkan posisi Aceh yang sejajar dalam deretan pergerakan dan arus kebangkitan Islam global. Dan ini hanya bisa dilakukan dengan cara merealisasikan seluruh sistem Islam dalam aksi-aksi lokal keAcehan. Artinya, semua agenda pembangunan masa depan yang dicanangkan oleh Wali Nanggroe dengan lembaganya agar tetap merujuk pada konsepsi Islam karena sebagai muslim  kita yakin betul bahwa Islam adalah solusi menuju kebangkitan. 

Kita ingin konsepsi Islam semakin sering dibicarakan oleh Lembaga Wali Nanggroe maupun juga oleh trias politika dalam sistem demokrasi kita, yaitu lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif

Hari ini, saat kita dihadapkan pada persoalan-persoalan kebangsaan, sangat jarang para elit kita baik di Aceh maupun di pentas nasional yang bersedia menjadikan Alquran sebagai solusi. Padahal, konsepsi Islam sebagai satu-satunya sistem yang universal dan integral bukan hanya  diperuntukkan untuk mengatur pribadi kita dengan Tuhan saja atau mengatur setiap pribadi kita menjadi paripurna, namun diperuntukkan untuk mengatur sistem sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang terjadi selama ini, keindahan dan kesempurnaan sistem Islam tertutupi oleh perilaku muslim sendiri. Maka seharusnya, Jika hari ini segudang persoalan sedang menimpa kita dan bangsa ini, jalur penyelesaian yang kita tempuh adalah dengan kembali pada Islam. 

Realitasnya hari ini, Islam meskipun merupakan salah satu agama terbesar di dunia, namun belum memiliki negara yang kuat yang mampu memperkenalkan Islam sesuai dengan wajah aslinya dengan cara yang. Alhasil, peradaban Islam masih tercerai berai semenjak Khilafah Islamiah di Turki ambruk pada tahun 1924 yang lalu. Pada titik ini, kita berharap kebangkitan peradaban Islam di dunia Melayu akan dimulai dari Aceh. Ini sesuai dengan misi para ulama Aceh yag tergabung dalam HUDA dan juga sejarawan Islam seperti Tgk Taqiyuddin Muhammad. 

Menurut keterangan Tgk Taqiyuddin, seorang peneliti kebudayaan Islam saat menyampaikan materi pengajian Islam yang diadakan oleh Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak Banda Aceh beberapa waktu lalu. Menurut beliau, Aceh berkesamapatan memimpin kembali kebangkitan peradaban Islam di Asia Tenggara,  (Serambi Indonesia, 13/12).

Secara historistik, bahwa peradaban yang tadinya tenggelam akan selalu memungkinkan untuk bangkit kembali jika nilai-nilainya peradaban yang telah tenggelam tersebut digali kembali, didiskusikan dan direvitalisasi kembali oleh generasi yang hidup saat itu. Disisi lain, secara teologis ini merupakan janji Allah bahwa dunia ini akan diwariskan kepada hamba-hambaNya yang beriman dan beramal shalih sebagaimana janji Allah dalam Alquran surat An- Nur: ayat 55.

Menyelesaikan persoalan kecil
Menuju agenda besar mengembalikan peradaban Aceh yang Islami ini, pada saat yang bersamaan kita harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan “kecil” yang hari ini melilit kita sebelum kemudian Aceh memainkan perannya dalam skala regional. Lalu bagaimana cara konkritnya? Tentu saja dengan menggali kembali rumus-rumus, konsepsi dan solusi yang diberikan Islam agar kita lepas total dari segudang persoalan Aceh hari ini.  Saya yakin, Islam akan mampu menjadi pemersatu dan stimulus pembangunan Aceh jika pemerintah berkomitmen kuat merujuk pada Alqur’an dan Hadits atas apapun persoalan yang mendera Aceh hari ini. 

Dengan kesediaan Aceh hari ini untuk merujuk total kepada sistem Islam dengan berbagai konsepsi pembangunannya, maka kita yakin posisi sentral Aceh akan bisa temukan kembali. 

Dalam konteks usaha perbaikan individu dan struktur sosial masyarakat Aceh, Islam telah memperkenalkan kepada kita nilai-nilai persaudaraan dan persatuan seperti Muhajirin dan Ansar, toleransi dalam menyikapi urusan khilafiyah fikh seperti yang ditunjukkan oleh para ulama mazhab, peduli kepada yang terzhalimi, saling menghargai, amanah, sederhana, jujur, berani mengatakan yang benar walau resikonya pahit, twadhu’, qana’ah, tidak ta’sshub, muhasabah atau intorspeksi diri, husnudhan/baik sangka, budaya tabayyun, budaya saling mengingatkan, saling ta’arruf sebagaimana yang dikatakan Abu Panton dalam bukunya sebagai upaya resolusi konflik (2008). 

Selain itu, kita juga perlu mempopulerkan konsepsi lain bagi pemerintah dan masyarakat seperti ‘ubudiyah(totalitas dalam penghambaan diri kepada Allah), mas’uliyah(pertanggungjawaban bukan hanya kepada manusia (pemerintah) tetapi juga kepada Allah Swt, serta rumus dan konsepsi lainnya yang terkandung luas dalam Alquran dan Hadits seperti konsepsi ekonomi Islam yang anti ribawi, pendidikan dan sebagainya untuk kita jadikan sebagai pedoman hidup dan referensi pembangunan Aceh hari ini.

Konsepsi Islam tersebut harus terus kita kaji, kita sosialisasikan dan kita bumikan di Aceh agar kita terus membangun menuju kejayaan bersama Islam serta menyelesaikan segudang persoalan Aceh pada saat yang bersamaan. Tanpa mampu menyelesaikan persoalan-persoalan Aceh hari ini dengan sistem Islam seperti yang penulis sebutkan di atas, maka mustahil Aceh mampu berbicara pada tataran regional serta mengkampanyekan keindahan Islam dan kesempurnaan sistemnya. 

Bagaimana Aceh akan tampil sebagai pemain penting dalam isu-isu regional jika Aceh sendiri tidak mampu keluar dari kungkungan persoalan-persoalan lokal? Sampai disini, harapan kita agar apapun persoalan Aceh hari ini besar maupun kecil mestilah kita merujuk pada konsepsi Islam dalam penyelesaiannya. Dan kita berharap, Paduka yang Mulia Tgk Malek Mahmud Alhaytar serius akan hal ini. 

Setelah itu, kita berharap pada saat yang bersamaan posisi Aceh semakin kuat sehingga Aceh bisa memainkan perannya dalam skala regional menyambut arus kebangkitan peradaban Islam secara global. Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis adalah ketua Departemen Riset Rabithah Thaliban Aceh (RTA). Email: khairipanglima@gmail.com