Kembalikan Hukum Aceh kepada Ulama
Ulama Aceh berfoto bersama Ulama Thailand, Mufti Australia dan Mufti Ukraina |
"Sukee
Lhee Reutoh ban aneuk drang, Suke Ja Sandam jeura haleuba, Sukee Thok Bate na
bacut-bacut, Sukee Imum Peuet yang gok-gok donya. Sukee Imum Peuet chit ureung Islam, wate
jameuen kon jithe sep that ka, ureueng sigo kheuen peutheuen nyang meuban, sabe
semanyang pujoe rabbana".
"Han
geumeukaphe ureueng Aceh nyan, saweueb bumoe nyan tanoh aulia. Geutem suet
nyawong peudong khuen Tuhan, ka meunan reusam geutueng pusaka".
Baik
sastra tadi terdapat dalam buku tulisan Affan Jamuda, yang dinyanyikan Rafly
dengan judul ‘Sukee 300.’ Bagi yang tidak mengerti bahasa Aceh, bait-bait
sastra tadi saya terjemahkan begini;
“Suku
Tiga Ratus tumbuh menyebar bagai tunas padi di Aceh, Suku Ja Sandam menempati
beberapa tempat, Suku Thok Bate ada beberapa orang, Suku Imum Peuet (Imam
Empat) yang menggoyangkan dunia (Asia Tenggara).
Suku
Imum Peuet sejatinya pembela Islam, dari asal moyangnya keturunan pemimpin besar,
mereka orang yang rela mati demi mempertahankan kebenaran yang diyakininya,
mereka selalu mendekatkan diri pada Tuhannya.
Orang Aceh tidak pernah mau keluar dari Islam karena
tanah dan peradaban Aceh dibangun oleh orang suci yang menjadi panutannya.
Mereka mau melepaskan nyawanya asal keyakinan bisa dibawa bersama diri.
Begitulah amanah nenek moyang yang mereka terima.”
Ayah
saya, alharhum
Tgk Sulaiman bin Dadeh yang tutup usia pada 95, semasa
hidupnya menceritakan; tentang hukum di masa Belanda menduduki
Aceh setelah penyerangan kedua karena serangan pertama Belanda pada 26 Maret
1873 dimenangkan oleh Kesultanan Aceh Darussalam dan Belanda bersama Marsosenya
melarikan diri ke Jakarta.
Saat
menerima Surat permintaan Nedherland Hindie agar
menyerahkan Aceh diserahkan oleh Sultan
Aceh Darussalam kepada Nedherland Hindie, Sultan langsung mengadakan rapat
mendadak dengan dihadiri oleh seluruh perdana menteri, Imum Mukim dan
raja-raja.
Sultan
tidak berani mengambil keputusan menerima atau menolak, karena Aceh bukan
miliknya dan dalam keadaan begitu, Sultan sendiri bisa diturunkan oleh Tuha
Peuet Neugara (Para Ulama besar keturunan Imum Peuet). Maka Tuha Peuet Neugara
(beranggotakan empat sampai delapan orang) memengambil kesimpulan agar Sultan
menolak permintaan Belanda.
Dan,
perang pun terjadi. Tahun-tahun setelah penyerangan kedua Nedhenland Hindie,
Belanda dan budaknya berhasil menduduki Aceh walau tanpa pernah menerima surat
penyerahan Kedaulatan Kesultanan Aceh Darussalam karena sebelum Sultan pengganti
ditangkap oleh Belanda, Tuha Peuet Neugara telah terlebih dahulu mengangkat
seorang Wali Neugara sebagai penanggung jawab Kedaulatan Aceh sampai perang
berakhir dan Sultan Aceh diangkat kembali.
Dan, sampai 65 Tahun Belanda di
Aceh, penjajah itu tidak pernah menerima surat penyerahan Aceh sampai mereka
lari pada 1945. Sejarah setelahnya adalalah pendirian Republik Indonesia yang
diproklamirkan Sukarno dan diberitahukan kepada dunia oleh orang Aceh melalui
Radio Rimba Raya.
Imperium
yang dibangun Belanda di Asia Tenggara dengan nama Nedherland Hindie terkendala
beberapa hal, misalnya bahasa dan hukum. Hal bahasa, Belanda ingin menggunakan
bahasa Belanda di seluruh taklukan Nedherland Hindie, tapi masyarakat
negeri-negeri yang telah dihancurkan telah sering berkomunikasi dalam bahasa
Melayu Pasai yang dibudayakan saat penyebaran Islam.
Maka
bahasa itulah yang dipakai selain istilah penting seperti jabatan wakil mereka
di negeri yang diperangi, contohnya sebutan guvernoor untuk kepala wilayah di
bawah Negara mereka.
Di
Aceh, selain bahasa, Belanda menemui masalah lain, yakni hukum. Mereka
menemukan bahwa hukum di Aceh telah sangat rapi di tangan ulama, semua rakyat
tunduk tanpa bantahan. Sementara di negeri Belanda sendiri tidak ada struktur
hukum yang begitu lengkap dan dipatuhi.
Maka, di seluruh Aceh, bangsa Belanda
yang bermental menindas menyerahkan hukum pada ulama, mereka hanya mengeksekusi
saja, sebagai algojo, keputusan mutlak pada ulama.
Kata
ayah saya, di kawasan Pase (Aceh Utara) ada Teungku Meunasah Kumbang, beliau
adalah ulama besar. Di kawasan Pasai hukum berada di tangan Teungku Meunasah
Kumbang, Belanda hanya menjadi algojo setelah hukuman diputuskan.
Di
masa hukum berada dalam mandat ulama, tidak ada kasus korupsi karena penjabat
yang korup dihukum secara adat yang membuat pelaku dan seluruh keluarga dan
kerabatnya malu sehingga tidak ada yang mau melakukannya lagi. Kini malah
cenderung membanggakannya karena sistem hukum yang longgar dilanggar.
Adalah
sebuah keanehan kini, saat Belanda angkat kaki malah hukum tidak lagi di tangan
ulama. Malah kini dibentuk dinas syariat Islam seolah perkara hukum Islam
setingkat dengan perkara lain seperti kesehatan dan pariwisata karena sama-sama
ada dinas.
Atas
nama seluruh ruh para ulama, kita tanyakan kepada penerusnya kini, apakah
masalah syariat Islam di Aceh sudah sesuai dengan amanah para leluhur
kita? Tidak adakah upaya di
zaman sekarang supaya penegakan hukum dikembalikan ke Kampong Kampong dan pada ulama
di dayah-dayah?
Dayah-dayah
seluruh Aceh sudah masanya mengembalikan dirinya kepada asal sistem yang
menjadi acuan negeri-negeri lain. Sistem mata pelajaran lengkap, namun
dipisahkan saat Belanda menduduki Aceh. Penggabungan beberapa dayah dengan
sistem pelajaran umum kini mulai mengarah pada hilangnya kemandirian dayah
yang suci dulu.
Maka
apa yang bisa kita sepakati dan lakukan kini sebagai cucu yang meminjam darah
dari indatu melalui ibu dan ayah kita. Tanggung jawab kita adalah darah. Aceh
kini yang damai dalam bingkai NKRI tentu pantas kalau kita minta pada
Pemerintah Aceh, kembalikan hukum di Aceh pada ulama.