Gharimin Dalam Pandangan Ulama Fikih dan Tafsir
Oleh: Dr. Analiansyah, M.Ag
Tulisan
ini menjelaskan pengertian gharim yang terdapat dalam surat at-Taubah
ayat 60, yaitu ayat yang menjelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima
zakat. Secara
etimologi, gharimin berarti orang yang berhutang.
Sebagai salah satu senif penerima zakat, para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan siapa orang yang termasuk gharim.
I.
Pendapat
Ulama Fikih Mazhab
a. Menurut Mazhab Ḥanafī dan
Mālikī
Menurut mazhab Ḥanafī dan
Mālikī, ghārimīn adalah orang berutang yang tidak memiliki satu
nisab (harta pun) yang melebihi dari hutangnya. Penetapan ghārim
kepada pengertian ini adalah dikaitkan kepada fakir. Karena menurut mazhab Ḥanafī dan
Mālikī, fakir menjadi syarat pada semua senif zakat, kecuali ‘āmil dan ibn sabīl. Jadi sekiranya dia memiliki
harta yang dapat melunasi hutangnya maka dia tidak termasuk ghārim.
Syarat ghārimīn yang boleh diberi zakat adalah muslim, merdeka, bukan
Bani Hasyim dan berhutang bukan untuk keperluan maksiat, seperti minum khamar
dan berjudi.
b. Menurut Mazhab Syāfi‘ī dan Ḥanbalī
Menurut mazhab
Syāfi‘ī dan Ḥanbalī, ghārimīn adalah orang-orang muslim yang berhutang. Kedua
mazhab ini membagi ghārim kepada dua golongan, yaitu:
1.
Orang yang berhutang untuk kebaikan keluarga atau
kaum kerabat. Maksudnya dia meminjam harta kepada orang lain yang digunakan
untuk menenangkan fitnah (kegaduhan dan huru-hara) yang terjadi di kalangan
kaum kerabat, baik fitnah itu antara dua kelompok atau pribadi. Dalilnya adalah
hadis riwayat muslim dari Qabīsah Ibn Mukhāriq, yang artinya: Dari Qabīsah
Ibn Mukhāriq, beliau berkata: Aku memikul suatu beban, kemudian aku mendatangi
Rasulullah saw, menanyakan tentang beban itu. Beliau bersabda: Tunggulah wahai
Qabīsah datang kepada kami zakat maka kami akan memberikan kepadamu. Beliau
berkata lagi: wahai Qabīsah, zakat itu tidak halal kecuali kepada tiga
kelompok, pertama, arang yang memikul beban, maka halal baginya meminta sampai
berhasil memenuhinya, sehingga ia berhenti meminta-minta ... (HR Muslim)
Golongan pertama ini terbagi lagi kepada dua
kelompok, yaitu:
a) Orang yang menanggung diat pembunuhan.
Kepadanya diberi zakat, baik dalam keadaan kaya maupun miskin.
b)
Orang yang
menanggung hutang untuk menghilangkan kegaduhan (fitnah) yang ada di kalangan
keluarga maupun di kalangan kaum muslimin. Dalam hal ini terdapat dua pendapat,
yaitu:
(1)
Diberikan zakat
walaupan ia kaya. Karena ia berhutang untuk kebaikan keluarga. Ini sama dengan
hutang diat pembunuhan. Pendapat ini dikemukakan oleh Syāfi‘ī
(2) Zakat tidak diberikan kepada seseorang yang
kaya. Karena hutang itu merupakan harta yang ditanggungnya bukan pada
pembunuhan. Hal itu disamakan dengan menanggung harta dalam jual beli. Pendapat
ini dikemukakan oleh pengikut mazhab Syāfi‘ī, namun tidak disebutkan siapa yang orang yang
berpendapat seperti itu.
2. Orang yang berhutang untuk kebaikan dirinya.
Dengan syarat dia dalam keadaan fakir dan tidak digunakan untuk maksiat.
Berbeda dengan dua mazhab sebelumnya, dua.
mazhab ini memahami lafadh ghārim kepada dua kelompok, pertama orang
berhutang untuk kepentingan dirinya. Syaratnya mereka harus miskin. Kelompok
pertama ini sama dengan pendapat dua mazhab terdahulu. Kedua orang yang
berhutang untuk kemaslahatan kaum muslimin, seperti menanggung diat pembunuhan
dan mendamaikan dua kelompok yang bersengketa. Pada kelompok yang kedua ini
tidak disyaratkan miskin secara ketat, tergantung kepada luasnya maslahat yang
ditimbulkan, seperti yang telah dijelaskan di atas. Di sini dapat dilihat bahwa
mazhab Syāfi‘ī dan Ḥanbalī memahami makna ghārim secara lebih luas. Mereka memasukkan ke
dalam makna ghārim orang yang berhutang untuk kepentingan diri sendiri
dan berhutang untuk kepentingan orang lain dengan syarat-syarat yang tertentu.
II. Menurut Ulama Tafsir
a. Menurut al-Ṭabarī
Menurut
al-Tabari, ghārimīn adalah orang
berhutang yang tidak dapat membayar hutangnya karena tidak punya harta benda.
Syaratnya berhutang bukan untuk keperluan maksiat dan karena pemborosan. Dalam
menyebutkan penyebab berhutang, Ṭabarī menyebutkan beberapa riwayat
yang menguatkan pendapatnya. Riwayat-riwayat yang beliau sebutkan berisi
sebab-sebab serta syarat-syarat orang berhutang. Riwayat-riwayat ini paling
tinggi disandarkan kepada sahabat. Riwayat-riwayat tersebut adalah:
1. Orang
berhutang karena ditimpa musibah, seperti musibah kebakaran rumah dan hanyut
terbawa banjir. Mereka berhutang untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Orang
berhutang bukan karena pemborosan.
b.
Menurut al-Qurṭubī
Al-Qurṭubī mengatakan, para ulama
telah sepakat bahwa makna ghārim adalah orang berhutang yang tidak sanggup
membayar hutangnya. Menurut beliau, ke dalam lafadh ghārim termasuk juga
orang kaya yang berhutang. Sekiranya orang tersebut memiliki hutang dan tidak
mempunyai harta untuk membayarnya, maka ia dikategorikan sebagai ghārim
dan fakir. Ia boleh mendapat zakat dari dua senif. Ketentuan ini
berdasarkan hadis Rasulullah saw, yang artinya: dari
Abī Sa‘īd al-Khudrī, beliau berkata: Pada masa Rasulullah saw sungguh seorang
laki-laki tertimpa musibah pada buah-buahan yang dibelinya menyebabkan banyak
hutangnya, maka Rasulullah saw bersabda: Bersedekahlah kepadanya.
Orang-orangpun bersedekah untuknya, namun sedekah yang ada itu tidak cukup
untuk melunasi hutangnya. Rasulullah saw bersabda terhadap orang yang memberi
hutang: Ambillah apa yang ada tersebut, tidak ada lagi untukmu kecuali itu. (HR.
Muslim)
Penjelasan
ghārim di atas ditujukan kepada orang yang berhutang untuk kepentingan
pribadi. Selain itu, menurut Qurṭubī, zakat boleh juga
diberikan kepada orang yang menanggung hutang untuk kebaikan dua orang atau
kelompok yang bertikai. Kepadanya diberikan zakat sesuai dengan beban hutang
yang ditanggungnya. Karena bila membayar hutang tersebut dari hartanya, maka
habislah hartanya. Dalam hal ini beliau mengambil pendapat Syāfi‘ī dan Aḥmad ibn Ḥanbal.
Berdasarkan penjelasan di atas
dapat disimpulkan bahwa makna ghārim menurut Qurṭubī terdiri
dari dua golongan:
1.
Orang yang berhutang untuk kepentingan
diri sendiri, baik dia tidak mampu membayar hutangnya atau orang kaya yang
berhutang.
2.
Orang yang berhutang untuk mendamaikan
dua orang atau kelompok yang bertikai.
Berdasarkan penjelasan di atas
dalam menetapkan makna ghārim, Qurṭubī menggunakan hadis dan pendapat
ulama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode penalaran yang dia tempuh
adalah penalaran bayānī.
c.
Menurut Muḥammad Rasyīd
Riḍa
Muḥammad Rasyīd
Riḍa membagi ghārim
kepada dua, yaitu:
1.
Orang berhutang yang tidak dapat
membayar hutangnya karena tidak punya harta benda. Syaratnya bukan hutang untuk
keperluan maksiat dan karena pemborosan.
2.
Orang yang berhutang untuk
menghilangkan pertengkaran antara dua kelompok. Hal ini biasa terjadi di
kalangan bangsa Arab, apabila terjadi pertengkaran di kalangan mereka yang
menuntut diat pembunuhan atau selainnya, seseorang berdiri untuk memberi
bantuan; derma dengan menanggung semua diat tersebut, sehingga hilanglah
pertengkaran itu. Kuat dugaan, golongan kedua ini tidak terbatas hanya kepada
orang fakir saja, tetapi tampaknya boleh orang kaya. Maksudnya ghārim
dalam ayat 60 surat al-Taubah termasuk orang kaya yang berhutang, dengan syarat
berhutang untuk menghilangkan pertengkatan antara dua orang atau kelompok.
Karena tidak mungkin orang mampu menanggung biaya untuk mendamaikan dua pihak
yang bersengketa bila dia tidak kaya.
Rasyī
Riḍa mendasarkan
pendapatnya kepada dua hadis, yaitu hadis nabi saw riwyat Aḥmad bin Ḥanbal dari
Anas dan hadis riwayat Muslim dari Qatādah ibn Mukhāriq, seperti telah
disebutkan di atas. Dalam hadis dari Qabīṣah ibn Mukhāriq tersebut terdapat
kalimat ثم
يمسك (sehingga ia berhenti meminta-minta). Lafadh ini
menunjukkan bahwa orang yang menanggung beban hutang tersebut adalah kaya.
Karena, bagi fakir tidak ada istilah berhenti meminta-minta.
Berdasarkan
uraian di atas dapat diketahui metode penalaran yang digunakan oleh Rasyīd Riḍa dalam
menetapkan makna ghārim adalah penalaran bayānī. Beliau
menggunakan hadis dalam menjelaskan makna ghārim. Selain itu beliau juga
menggunakan ‘urf masyarakat
Arab untuk menguatkan makna ghārim yang ditetapkannya.
d.
Menurut Muḥammad ‘Alī al-Sāis
Muḥammad ‘Alī al-Sāis
dalam menetapkan makna ghārim mengutip pendapat ulama Ḥanafiah dan
Syāfi‘iyah beserta dalil-dalil yang
dikemukakan oleh kedua mazhab ini. Ulama Ḥanafiah dan Syāfi‘iyah
mempunyai pendapat yang berbeda, namun ‘Alī al-Sāis
tidak mentarjīḥ
(menguatkan salah satu pendapat) terhadap kedua pendapat ulama tersebut.
Wallahu a’lam
bishshawab.
Dr.
Analiansyah, M.Ag adalah Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh