Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil dan Biografi Ulama Aceh Abu Ceubrek Matangkuli

 

Abu Ceubrek dan Cucunya Tgk Rudi Fachruddin 

Oleh Rudy Fachruddin S.Ag

(Tulisan ini masih sebatas pengumpulan data tahap awal dan penyusunan kerangka dasar sejarah, tulisan ini akan terus saya perbarui sesuai masukan, revisi dan temuan data yang saya peroleh. Daripada tulisan ini mengendap di laptop lebih baik saya paparkan saja tampilan awalnya terlebih dahulu).

Orang dalam foto di atas adalah Abu Ceubrek, seorang ulama di Aceh Utara dan cukup dikenal di wilayah kecamatan Matangkuli dan sekitarnya. Beliau adalah kakek saya dari jalur ibu.

Nama asli beliau adalah Muhammad bin Malem Puteh atau kerap disapa Abu Ceubrek. Gelar Ceubrek merupakan nisbat pada nama desa atau kampung tempat beliau tinggal dan membangun pesantren/Dayah.

Dalam kebiasaan orang Aceh memang banyak ulama yang digelari dengan nama kampung atau daerah mereka kemudian ditambahkan gelar Abu di belakangnya. 

Kata Ceubrek sendiri dalam bahasa Aceh merupakan nama sebuah pohon berkayu keras dengan nama latin "Senna Siamea" atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai pohon Johar.

Sejarah nenek moyang Abu Ceubrek dimulai dari sebuah cerita menarik dari tiga bersaudara pandai besi di daerah Trienggadeng (sebuah kecamatan di Pidie jaya). Tiga bersaudara tersebut suatu ketika mendapat pesanan tempaan pedang dari keluarga raja atau penguasa kala itu. Namun, untuk alasan yang tidak dapat diketahui pesanan tersebut tidak kunjung selesai dikerjakan. 

Setelah beberapa kali utusan raja datang menagih pesanan tersebut, utusan terakhir sampai mengeluarkan cercaan dan kata-kata kasar karena pesanan pedang tidak kunjung siap. Salah seorang pandai besi yang tersinggung kemudian menganiaya utusan raja tersebut hingga terluka.

Menganiaya utusan raja tentu menjadi perkara serius dan tidak menutup kemungkinan harus ditukar dengan nyawa. Atas pertimbangan tersebut, tiga bersaudara ini kemudian memutuskan melarikan diri dan pergi ke arah timur.

Ketiganya kemudian menetap di tiga lokasi berbeda. Satu orang di Peudada, satu orang di Mon Keulayu atau Gandapura dan satu orang lagi pergi lebih jauh sampai ke Pirak (kawasan pedalaman Lhoksukon/ Aceh Utara sekarang). Saudara yang lari sampai ke Pirak inilah yang kemudian menjadi moyang dari Abu Ceubrek. Kejadian ini sendiri tidak dapat diketahui waktu kejadiannya secara pasti, namun kemungkinan terjadi sekitar tahun 1.800-an atau penggalan awal abad ke-19.

Pandai besi ini kemudian bekerja keras membuka lahan dan sawah di kawasan Pirak. Lahan ini kemudian diwariskan kepada beberapa generasi sesudahnya. Lahan tersebut demikian luas hingga membentang dari kawasan meunasah Rayek Pirak hingga meunasah Aron Pirak. 

Tidak heran jika tanah di kawasan dua desa tersebut saat ini dimiliki oleh orang-orang atau keluarga besar yang bertemu pada beberapa percabangan generasi di atasnya.

Rentang generasi antara trio pandai besi bersaudara ini dengan ayah dari Abu Ceubrek seharusnya tidak terlalu jauh, karena semasa hidupnya, Abu Ceubrek beberapa kali pernah saling berkunjung dengan kerabat di Mon Keulayu dan Peudada. Ini menunjukkan bahwa mereka masih memiliki hubungan kekerabatan sepupu jauh tetapi masih dapat terlacak dan saling mengenal satu sama lain.

Pandai besi yang lari ke Pirak ini juga merupakan leluhur dari Tgk Chik payabakong. Bahkan pada awalnya Tgk Chik payabakong mengajar di kawasan meunasah Rayek Pirak sebelum kemudian pindah ke lokasi mesjid tuha Payabakong akibat determinasi Belanda yang kian merangsek maju. Dengan demikian antara Tgk Malem Puteh atau ayah dari Abu Ceubrek masih terikat hubungan sepupu jauh dengan Tgk Chik payabakong.

Tgk Malem Puteh juga merupakan seorang Teungku yang aktif berkiprah sebagai pengajar agama. Beliau tinggal di desa Rayek Pirak bertepatan dengan lokasi taman kanak-kanak sekarang, hanya saja lebih menjorok ke dalam. Di sana pula Abu Ceubrek lahir dan menghabiskan masa kecil beliau.

Tgk Malem Puteh adalah orang yang sangat rajin dan giat bekerja. Beliau jika dalam musim bekerja di sawah atau kebun biasanya akan menginap di sana dan berhari-hari tidak pulang ke rumah. Hingga beliau dijuluki "Teungku gampong Blang" atau orang yang menjadikan sawah seolah sebagai kampungnya. Semangat dan etos kerja ini tidak lain beliau warisi dari leluhur beliau, pandai besi yang dahulu membuka lahan di sana.

Teungku Malem Puteh memang memiliki banyak kerbau, tanah dan lahan. Harta inilah yang kelak menjadi bekal Abu Ceubrek dan anak-anak beliau yang lain untuk menuntut ilmu agama.

Tgk Malem Puteh memiliki sembilan orang anak. Tiga diantaranya adalah perempuan, tetapi tidak saya ketahui namanya. Enam orang sisanya adalah laki-laki dan semuanya pernah merantau untuk menuntut ilmu agama.

Keenam anak laki-laki beliau adalah Abdul Ghani, Yahya, Teungku Lhok (ayah dari Abi Sop Teupin Keubeu, pimpinan Dayah Babussalam Putri Tp.Keubeu), Tgk Saket (beliau dijuluki demikian karena mengalami cedera kaki hingga sulit untuk berjalan), Musa dan paling bungsu Abu Ceubrek.

Semua anak-anak Tgk Malem Puteh atau saudara Abu Ceubrek pernah mengenyam pendidikan Dayah seperti di Dayah Mon Geudong, Lhokseumawe dan Dayah Ribee di Delima Pidie. 

Salah seorang saudara Abu Ceubrek yaitu Tgk Saket juga seorang Qari dan memiliki suara yang sangat indah dan lantang ketika membaca ayat-ayat Alquran.

Tahun kelahiran Tgk Malem Puteh tidak dapat dipastikan dengan jelas. Namun beliau wafat saat Abu Ceubrek masih bayi, atau sebelum tahun 1935. Jika beliau meninggal saat anaknya masih kecil, maka artinya beliau meninggal dalam usia yang tidak terlalu tua, namun juga tidak terlalu muda mengingat beliau telah memiliki sembilan orang anak.

Jika melakukan hitung-hitungan kasar berdasarkan fakta di atas, kemungkinan Tgk Malem Puteh meninggal pada usia 50-an. Jika pada dekade 30-an beliau sudah berusia kepala lima, artinya beliau lahir pada sekitar dekade 1880-an.

Abu Ceubrek sendiri lahir pada tanggal 31-Desember-1933. Data ini saya ambil dari dua pasport beliau saat menunaikan ibadah haji tahun 1986 dan 2005. Saya tidak tahu seberapa akurat data tersebut.

Beliau adalah anak bungsu yang sangat disayang oleh saudara-saudaranya, apalagi karena ayah beliau meninggal saat beliau masih sangat belia. Ketika saudara-saudaranya yang lain bekerja keras di sawah, kebun dan menggembalakan kerbau, Abu Ceubrek sejak awal langsung fokus menuntut ilmu agama.

Abu Ceubrek sejak usia belasan tahun atau dekade 40-an sudah fokus belajar agama kepada Teungku Sulaiman Lhoksukon atau Tgk Sulaiman Caw'iek. Beliau adalah pendiri Dayah Lhoksukon dan juga murid senior dari Abu Hasan Krueng kale. 

Tgk Sulaiman Lhoksukon ini sangat terkenal di Lhoksukon. Beliau kadang disebut Tgk Sulaiman Caw'iek, bahasa Aceh dari "kait". Beliau sangat dikenal dengan tongkat beliau yang memiliki kait dan sering digunakan untuk menegur kaum perempuan yang tidak berpakaian syar'i.

Abu Ceubrek sendiri menjadi murid senior dan kesayangan dari Tgk Sulaiman Lhoksukon. Ketika Tgk Sulaiman meninggal dunia, Abu Ceubrek adalah orang yang dipercaya dan diwasiati untuk memimpin tajhiz dan shalat jenazah beliau.

Abu Ceubrek dikisahkan juga pernah menuntut ilmu ke Dayah Ribee, kecamatan Delima, Pidie. Selanjutnya atas saran dari Tgk Sulaiman, Abu Ceubrek kemudian merantau ke Banda Aceh dan belajar di Dayah Ulee Titi. Abu Ceubrek belajar selama belasan tahun di Dayah Ulee Titi sampai tahun 1961. Bahkan setelah menikah, beliau masih sempat kembali lagi ke sana. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Abu Ceubrek telah belajar di Ulee Titi sejak dekade 1950-an.

Pada masa tersebut, Dayah Ulee Titi belum berada pada lokasi Dayah Ulee Titi saat ini. Tetapi masih berada persis di ujung jembatan Lambaro, sesuai dengan namanya Dayah Ulee Titi. Kemungkinan Abu Ceubrek belajar di sana saat Dayah tersebut masih dipimpin oleh Abu Ishak Al-Amiri, ayah dari Abu Athaillah pimpinan Dayah Ulee Titi sekarang.

Selama belajar di Banda Aceh, Abu Ceubrek juga rutin mengikuti kajian mingguan bersama Abu Hasan Krueng kale, dengan demikian, sama halnya dengan Tgk Sulaiman, Abu Ceubrek juga merupakan murid dari Abu Hasan Krueng kale.

Abu Ceubrek menetap cukup lama di Banda Aceh, dan tentu saja pernah mengajar di sana. Bahkan beberapa murid beliau di Banda Aceh turut serta mengikuti beliau saat beliau pulang ke Pirak, Aceh Utara. Murid-murid beliau ini juga aktif mengajar di Dayah Pirak selama beberapa tahun sebelum kembali lagi ke Banda Aceh.

Setelah pulang dari Banda Aceh, Abu Ceubrek menikah dengan istri beliau yang bernama Halimah atau Nyak Limah. Abu Ceubrek menikah pada usia yang cukup matang dan telah melewati usia 30 tahun. Sebaliknya istri beliau menikah pada usia yang sangat muda, bahkan belum genap 15 tahun. Satu hal yang wajar pada masa tersebut.

Abu Ceubrek mendapatkan 10 orang anak dari istri beliau. Dua diantaranya meninggal saat bayi. Kedelapan anak beliau yang masih hidup secara berurutan adalah;

Athaillah

Sakdiyah

Muhammad Saleh

Habibah (ibu saya)

Royani

Muhibbudin

Hamidi 

Razali.


Dua anak yang meninggal adalah anak perempuan bernama Rohani dan Hasanah. Namun saya tidak mengetahui urutan kelahirannya.

Sejak menikah, Abu Ceubrek mendirikan pesantren di meunasah Ceubrek Pirak, kampung di sebelah Utara desa Rayek Pirak. Beliau mendapat sebidang tanah luas dari mertua beliau Tgk Majid, seorang pedagang kain sukses di Aceh Utara saat itu.

Di tanah tersebut, Abu Ceubrek membangun sebuah Dayah, dan menjadi Dayah pertama di sekitaran Matangkuli. Dayah ini sudah aktif sejak tahun 60-an. Jauh sebelum berdirinya beberapa Dayah besar di Matangkuli dan sekitarnya yang ada sekarang. 

Abu Ceubrek bersama murid-murid beliau dari Banda Aceh mengadakan kajian agama tingkat tinggi di sana. Dikisahkan bahwa kitab yang diajarkan oleh Abu Ceubrek sampai pada kitab-kitab fikih level ekspert dalam Mazhab Syafi'i seperti kitab مغنى المحتج karya Al-Khathib Asy-Syarbini, kitab فتح الوهاب  karya Zakaria Al-Anshari hingga نهاية المحتاج karya Ar-Ramli. 

Sistem pendidikan jaman dahulu tidak didasarkan pada jenjang dan unit-unit kelas tahunan seperti sekarang, melainkan berlanjut secara lepas tanpa batasan waktu hingga sebuah kitab tamat dan tuntas dipelajari.

Selain kajian-kajian agama kelas tinggi, Abu Ceubrek juga rutin mengajar kalangan masyarakat awam di sekitar kecamatan Matangkuli, Payabakong, Pirak Timu dan Tanah luas. Kitab-kitab yang digunakan tentu kitab-kitab dengan level yang lebih rendah.

Sejak tahun 60-an hingga beliau wafat tahun 2011, Abu Ceubrek masih tetap aktif berkiprah  dalam kegiatan seumeubeut. Artinya beliau mengabdi selama hampir setengah abad. Sehingga tidak mengherankan jika hampir semua pelajar agama kelahiran 50-an dan seterusnya di kawasan empat kecamatan tersebut menganggap beliau sebagai guru mereka.

Abu Ceubrek juga dikenal memiliki kemampuan berbicara dan penyampaian yang sangat baik. Dalam setiap kajian dan ceramah, beliau selalu dapat menyelipkan humor dan jenaka sehingga para jamaah tidak bosan. Namun tidak pula sampai membuat mereka terbahak-bahak dan menjatuhkan wibawa.

Abu Ceubrek juga orang yang Flamboyan. Beliau hidup dengan sederhana dan jauh dari kemewahan. Tetapi beliau tetap selalu memakai pakaian, sarung dan peci berkualitas baik. Sederhana namun tetap berkelas dan berkharisma. Begitulah gambaran cara berpakaian beliau.

Abu Ceubrek juga selalu keluar rumah saat sudah benar-benar siap, maksudnya beliau tidak pernah keluar pintu rumah dalam keadaan masih memasang kancing baju atau merapikan sarung.

Abu Ceubrek juga dikenal sangat rajin, gemar berkebun dan cinta kebersihan. Beliau sangat tidak tahan pada tumpukan sampah atau hal-hal yang terlihat kotor di lingkungan rumah dan Dayah beliau.

Dari banyak pengakuan murid-murid beliau, Abu Ceubrek dikenal sangat menguasai ilmu Faraidh atau mawaris. Satu cabang ilmu yang sangat pelik bagi sebagian orang.

Abu Ceubrek juga orang yang sangat rajin membaca. Setiap hari, beliau selalu menyisihkan beberapa jam waktunya untuk muthalaah kitab. Di kamarnya, beliau menyediakan satu tempat khusus kursi dan meja yang menghadap jendela untuk membaca. Sejak kecil, saya sering melihat beliau menghabiskan waktu berjam-jam di sana dengan fokus membaca kitab.

Saya tidak cukup beruntung karena dilahirkan terlalu telat atau beliau wafat sebelum saya sempat berada pada level dapat belajar dan bertanya banyak hal kepada beliau 😢

Dahulu saya tidak dapat memahami seberapa luas sebenarnya ilmu agama ini, hingga beliau masih tetap membaca selama berjam-jam. Abu Ceubrek memiliki koleksi kitab yang lumayan banyak. Dulu beliau sering memesan dan menitip agar dibelikan kitab jika ada kerabat yang naik haji atau umrah.

Selain kitab-kitab tebal dalam fikih Syafi'i, saya juga menemukan banyak kitab lain di rak koleksi beliau seperti kitab فتح البارى Syarah Shahih Bukhari karangan ibn Hajar al-'Asqalany sebanyak 13 jilid (bacaan favorit beliau), الفقه على المذاهب الأربعة kitab perbandingan Mazhab karya Abdurrahman Al-Jaziri sebanyak 5 jilid, kitab إتحاف السادة المتقين Syarah kita ihya' karya Murtadha Az-Zabidy sebanyak 10 jilid. Beberapa kitab tafsir yang beliau miliki diantaranya tafsir Ibnu Katsir, tafsir jalalain dengan Hasyiyah Jamal dan Hasyiyah Shawi, tafsir Baydhawi dan tafsir Khazin. Selain itu masih banyak kitab-kitab yang lain.

Abu Ceubrek bukanlah tipe orang yang mengoleksi kitab sebatas hiasan lemari. Semua kitab-kitab beliau baca secara rutin, hal ini terbukti ketika saya lihat ada banyak bekas tanda dan catatan di setiap lembaran jilid kitab-kitab yang beliau koleksi.

Istri pertama Abu Ceubrek meninggal dunia pada usia muda, tepatnya akhir dekade 1970-an, Abu Ceubrek kemudian menikah lagi dengan ummi Majidah yang meninggal bulan februari lalu. Dari pernikahan keduanya, Abu Ceubrek tidak mempunyai anak.

Abu Ceubrek meninggal dunia pada hari Ahad 14-Ramadhan tahun 1432 H, atau bertepatan dengan Minggu, 14 Agustus tahun 2011. Beliau tutup usia pada sekitar pukul empat sore. Tanpa bermaksud melakukan glorifikasi yang berlebihan, tetapi beberapa menit setelah beliau wafat langsung turun hujan yang sangat deras dan tidak biasa.

Jenazah beliau dishalati di mushalla Dayah Babussa'dah Meunasah Ceubrek, dan diimami oleh Abu Hanafi Matangkeh. Ulama besar Aceh Utara yang meninggal awal tahun 2020 lalu. Jenazah Abu Ceubrek baru disemayamkan keesokan harinya karena banyaknya jamaah yang datang berta'ziyah. Pusara beliau ada di belakang mushalla komplek Dayah Babussa'dah Meunasah Ceubrek.

Saat ini Dayah peninggalan beliau masih tetap berdiri, meskipun telah lama tidak lagi memiliki atmosfer keilmuan semegah di era beliau dulu. Semoga kedepannya Dayah tersebut dapat kembali berjaya. Saat ini Dayah tersebut berada di bawah kepemimpinan anak beliau Teungku Muhammad Saleh, (dulu beliau belajar di Dayah Tanoh Mirah).

Saat ini Abu Ceubrek memiliki 31 orang cucu dan dua orang cicit.

Semoga Allah SWT memberikan Rahmat yang seluas-luasnya kepada Abu Ceubrek dan memberikan balasan surga kepada beliau, serta memberikan keberkahan pada ilmu yang telah beliau tinggalkan di tanah Matangkuli dan sekitarnya.


📝Catatan:

🔸Biografi ini masih sangat terbuka terhadap perubahan dan revisi. Saya sangat senang jika ada yang bersedia memberikan tambahan informasi atau koreksi jika ada kekeliruan data yang saya tuliskan. Atau mungkin dapat memberikan saran orang untuk diwawancarai sebagai narasumber yang mungkin mengetahui banyak informasi terkait Abu Ceubrek, khususnya dalam kiprah dan rihlah ilmiah beliau. Hal ini demi meningkatkan akurasi historis kehidupan beliau.

🔸Saya pribadi cukup kesulitan mencari narasumber, karena banyak murid-murid senior beliau yang telah meninggal dunia. Cukup disesalkan saya tidak sejak awal memiliki kesadaran mencatat kehidupan beliau. Tetapi masih ada beberapa kandidat yang hendak saya wawancarai dalam pengumpulan data ini.

🔸Saya pribadi tidak terlalu dapat menjadi representasi keturunan beliau, karena saya hanya cucu dari anak perempuan dan juga hanya sebentar mengecap pendidikan Dayah. Jadi saya mohon maaf jika dinilai lancang menulis catatan biografi singkat ini. 


🔸Pada akhirnya melalui tulisan ini saya mengajak para pegiat ilmu agama di Aceh agar giat mencatat sejarah ulama mereka. Agar kiprah mereka tidak hilang ditelan zaman sebelum sempat didokumentasikan dengan baik.


Terimakasih

1 komentar untuk "Profil dan Biografi Ulama Aceh Abu Ceubrek Matangkuli"

  1. Katanya:
    Dari pernikaha kedua istri abu cubrek tidak dikaruniai anak. Terus krnapa ada keturunan dan cucu.
    Jadi bingung aku ini

    BalasHapus