Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jadi Pimpinan Partai Politik Lokal, Tu Bulqaini Bukan Aktivis Kemarin Sore

Profil Tu Bulqaini dimuat di Harian Serambi Indonesia pada suatu ketika seusai terpilih sebagai Rais 'am Rabithah Thaliban Aceh. Tu Bulqaini mewakili gerakan santri menjadi aktivis perdamaian di Aceh yang menuntut referendum secara damai.

Suara Darussalam - Di jagad dunia aktivis di Aceh nama Tu Bulqaini sudah tentu tidak asing lagi. Khususnya aktivis senior Aceh yang pernah berjuang di masa konflik. Tu Bulqaini demikian ia akrab disapa, menjadi pioneer gerakan santri Aceh yang ikut memperjuangkan referendum Aceh secara damai.

Di tengah Aceh memanas karena konflik, Tu Bulqaini menggagas kelahiran gerakan besar yang menaungi aspirasi santri se-Aceh, yaitu Rabithah Thaliban Aceh (RTA), nama yang dipakai yang diasosiasikan juga dengan Ikatan Santri Aceh.

Sekedar informasi juga bahwa di era Tu Bulqaini memimpin RTA ini pula menjadi awal kelahiran Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) pada 19 September 1999. Dan kemudian dalam perjalanannya HUDA ini menjadi pengarah bagi gerakan RTA sekaligus sebagai “ayah”.

Menurut sejumlah catatan sejarah, proses terbentuknya HUDA dimulai dari rapat kecil di Dayah Darul Istiqamah Bireuen pada saat acara silaturahmi dengan Abu Muhammad Kasim TB yang dihadiri oleh Abu Panton (Tgk. H.Ibrahim Bardan), Abu Adam (Sampoinet), Tgk H Sulaiman Hasballah(Abu Meunasah Mee),Tgk H M Nur Hasballah Ulee Glee,Tgk Marzuki Ali (Ponakan Abu Sulaiman Hasballah, Tgk H.Faisal Ali, Tgk H. Anwar Usman, Tgk H. Bulqaini Yahya, Tgk. Dr. Iskandar Zulkarnain, M.Si dan lain-lain sebagainya.

Dalam rapat tersebut muncul gagasan untuk membentuk sebuah organisasi Ulama yang menghimpun ulama-ulama dayah di Aceh sebagai organisasi yang bisa memayungi semua ulama-ulama dayah dan balai pengajian.

Saat itu di Aceh sedang terjadi konflik keamanan sehingga komunikasi antar ulama sulit terlaksana. Selain itu juga banyak ulama yang pindah dan mengungsi sehingga banyak dayah yang terbengkalai. Sementara para ulama terlibat konflik kepentingan antara pemerintah RI dan GAM yang meminta para ulama mengambil sikap. 

Jadi, Tu Bulqaini adalah salah satu motor penggerak kelahiran HUDA yang kemudian mewarnai jagad aktivisme ulama dayah di Aceh dalam merespon berbagai persoalan mutakhir di Aceh di semua aspeknya.

 


Tu Bulqaini Sang Aktivis Perdamaian Aceh

Kelahiran RTA dengan Tu Bulqaini sebagai ketua pertamanya pada saat itu memang sebuah keniscayaan zaman sehingga santri sebagai anak negeri dapat memberikan kontribusi nyata untuk damai Aceh bersama dengan para aktivis lainnya.

Statemen-stamen Tu Bulqaini di  media saat itu mencerminkan semangat keAcehan dan keIslaman. 

Jika dari kalangan santri/teungku dayah RTA dibawah kepemimpinan Tu Bulqaini dianggap sebagai representasi dan perwakilan gerakan di Aceh yang mewakili aktivis santri, pada saat yang sama kita mengenal aktivis mahasiswa lainnya seperti Muhammad Nazar dengan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA)-nya yang di kemudian hari memimpin Partai SIRA dan juga menjadi Wakil Gubernur Aceh.

RTA-SIRA dan GAM pada saat itu sama-sama berjuang untuk Aceh. Bedanya, GAM berjuang dengan senjata, SIRA berjuang menuntut menuntut referendum dan sementara RTA juga berjalan di arus yang sama menuntut referendum Aceh secara damai.

Di masa Tu Bulqaini, ia membawa RTA untuk konsisten di atas garis kebenaran Islam. Statemen-statemennya menunjukkan bahwa ia berpegang teguh pada ajaran Islam dalam melihat konflik Aceh. Artinya jika itu salah menutut Islam maka tetap salah. Jika benar menurut Islam maka itu berarti benar.

Ketika menjadi ketua RTA demisioner untuk kemudian digantikan Tgk. H. Faisal Ali (yang kemudian menjadi sekjend HUDA dan kini Ketua MPU Aceh), ada kalimat menarik Tu Bulqaini yang diutarakan Tu Bulqaini di media untuk menepis semua opini liar di luar yang mencurigai gerakan Thaliban.



Tu Bulqaini saat itu mengatakan : “Thaliban tidak takut dimusuhi banyak orang. Yang paling penting Thaliban tetap berada dalam cahaya kebenaran dan Allah pasti akan menolong hamba-Nya yang benar”.

Di masa perjuangan referendum dimana Thaliban di bawah Tu Bulqaini juga menuntut referendum secara damai, Tu Bulqaini juga mengeluarkan statemen yang cukup mewakili harapan Islam.

Apa kata beliau saat itu, : “Thaliban Aceh menyerukan kepada seluruh kader Thaliban dan rakyat Aceh untuk berruang menuntut referendum secara damai tanpa dibarengi dengan intimidasi dan pemaksanaan kehendak. Kalau memperjuangkan referendum dengan cara yang dimurkai Allah maka itu bukan cara yang baik untuk menyelesaikan persoalan Aceh”.



Jadi disini jelas posisi Tu Bulqaini sebagai aktivis sejati perdamaian Aceh yang berjuang untuk Aceh di atas fondasi Islam. Beliau punya pendirian yang kuat. Basis ideologinya jelas keislaman dan keAcehan. Memperjuangkan kepentingan Aceh melalui gerakan santri dan tetap menjaga ruh dan garis perjuangan agar tetap di jalan Islam.

Di masa konflik itu juga, markaz Thaliban (RTA) pernah digrebek apparat keamanan dan dengan 6 orang ditangkap. Tu Bulqaini memprotes keras karena sesungguhnya markaz Thaliban saat itu difungsikan untuk menampung aspirasi masyarakat yang kehilangan banyak kenderaan. Sekaligus tempat ibadah dan pengajian.

Tu Bulqaini mewarnai jagad pergerakan di Aceh di masa yang penuh “ketakutan”, yakni masa konflik. 

Dan selepas itu ia terus berbuat untuk masyarakat Aceh melalui lembaga pendidikan dan sosial. Ia hadir berkunjung ke luar negeri menemui dewan muslim Amerika dan sebagainya yang menambah pengalaman internasionalnya.

Di dalam negeri, Tu Bulqaini juga menjaga dan memiliki hubungan yang baik dengan misalnya mantan Presiden Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid (Gusdur). Gusudr pernah datang ke Aceh untuk mendengarkan pemaparan solusi perdamaian Aceh yang disampaikan Tu Bulqaini.



Tu Bulqaini Membantu Penegrian Unimal

Dengan bekal relasinya ini, Tu Bulqaini ikut terlibat dalam penegrian Kampus Universitas Malikussaleh di Aceh. Ya karena pada saat itu Presiden Gusdur yang berasal dari kelompok santri memiliki hubungan yang baik dengan Tu Bulqaini selaku perwakilan tokoh kaum santri di Aceh.

Pengakuan atas jasa Tu Bulqaini dalam penegrian Unimal ini disampaikan langsung oleh Rektor Unimal yang sedang menjabat saat ini, Dr Herman Fithra ASEAN Eng saat melakukan silaturahim dengan Tu Bulqaini, pimpinan Markaz Al-Ishlah Al-Aziziyah di Luengbata, Banda Aceh, Rabu (17/6/2020).


Dr Herman Fithra ASEAN Eng menyebutkan proses penegerian Unimal tak lepas dari peran para ulama Aceh, termasuk Tu Bulqaini. Dalam pertemuan itu, mantan Rektor Universitas Malikussaleh, Prof A Hadi Arifin, mengungkapkan peran Tu Bulqaini yang demikian besar dalam upaya penegerian Unimal. 


“Waktu itu, Tu Bulqaini masih Ketua Rabithah Taliban Aceh. Beliau yang menelepon saya untuk dukungan penegerian Unimal,” ungkap Prof Hadi. 

“Kami kemudian bertemu dengan Presiden Gusdur waktu itu di Ciganjur. Karena kami sama-sama Nahdliyin, urusannya menjadi lebih cepat,” ungkap Tu Bulqaini sambil tertawa sebagaimana berita di situs resmi Unimal.

Dalam beberapa pertemuan dengan Gusdur, lanjut Tu Bulqaini, ada beberapa orang sekitar Gusdur yang ikut membantu seperti Bondan Gunawan dan Aris Djunaedi. “Dengan mereka berdua, kami bisa berjumpa dengan Gusdur kapan saja,” tambah Tu Bulqaini.

Selepas Aceh damai tahun 2004, Tu Bulqaini terus berbuat untuk masyarakat. Ia menampung anak-anak yatim korban konflik untuk dididik, dibina dan diberi makan di Dayah Markaz Ishlah Al-Aziziyah Luengbata Banda Aceh. 

Pekerjaan yang sangat-sangat mulia tentu saja bukan?

Rasulullah Saw mengatakan, Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya".

 


Memimpin Partai Politik Lokal Aceh

Dalam perjalanan aktivisme dan keulamaannya, Tu Bulqaini juga pernah satu periode menjabat sebagai Sekjend Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Dan kini, Tu Bulqaini didapuk oleh para ulama untuk memimpin Partai Lokal Aceh yang telah didaftarkan ke Kanwil Kemenkumham Aceh dengan nama “Partai Adil Sejahtera (PAS) Aceh”. 

Setidaknya kabar tentang ini dapat kita baca di sejumlah media online yang mulai viral beberapa waktu lalu pasca kehadiran Tu Bulqaini pada pendaftaran partai di Kanwil Kemenkumham.

Pada titik ini, menjadi menarik melihat kembali kehadiran Tu Bulqaini dalam konstalasi politik Aceh sebagai ketua Partai Politik lokal yang kabarnya diinisiasi oleh para ulama di Aceh. 

Tu Bulqaini didapuk memimpin partai ini oleh sejumlah ulama yang bermakna bahwa beliau telah dipanggil kembali ke dalam perjuangan serius memperbaiki Aceh.

Sebelum itu para ulama di Aceh menyelenggarakan Silaturrahmi Ulama Aceh (SUA) yang di antara sikap yang dikeluarkan pada esensinya adalah menyorot ketimpangan politik Aceh yang hari ini mengalami disfungsi amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam praktik politik. Sesuatu yang sangat meresahkan para ulama di Aceh.

“Sikap politik” para ulama yang ditunjukkan melalui SUA dan kemudian kehadiran Tu Bulqaini yang berasal dari kalangan ulama sebagai pimpinan partai politik local baru di Aceh memberikan kesan bahwa perjuangan Aceh dalam memperbaiki politik harus diluruskan kembali di atas jalan Islam. Agar tujuan politik untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Aceh di dunia dan keselamatan di akhirat dapat diwujudkan.

Tu Bulqaini Tanjungan.

Maka tatkala diwawancarai wartawan kontrasaceh.net, Tu Bulqaini mengatakan : “Ketika kita ingin memperbaiki Aceh, maka kita harus masuk ke dalam sistem”. Itu pula yang dijadikan judul pemberitaan media online ini. 

Di berita yang sama, Tu Bulqaini juga mengatakan bahwa “kedepan Ia ingin berusaha berpolitik lebih bermartabat dan mengedepankan akhlaqul karimah

Seruan menuju politik Aceh yang berperadaban sejatinya juga sudah digaungkan oleh para ulama lain di Aceh selama ini. Termasuk Tgk. H. Muhammad Yusuf. A. Wahab (Tu Sop Jeunieb) yang bertahun-tahun telah hadir dari satu majelis ta’lim ke majelis ta’lim menyampaikan dakwah memperbaiki tatanan kehidupan yang dirasa jauh dari nilai-nilai Islam seperti jauhnya politik kita dari amar ma’ruf dan nahi mungkar.

Melihat track record, jaringan dan kontribusinya untuk Aceh, Tu Bulqaini memang sudah saatnya berada di jalur memimpin partai politik. Bahkan seharusnya dari dulu beliau sudah layak pada posisi tersebut sehingga kontribusinya untuk Aceh dapat lebih maksimal lagi.  

Pada diri Tu Bulqaini telah menyatu jiwa santri dan keulamaan yang memiliki cakrawala Islam yang luas, basis pemikiran idealis dan istiqamah. Pada diri beliau juga menyatu jiwa aktivis yang tidak pernah lelah memikirkan kepentingan bangsa dan masyarakat.

Dan tentu saja, juga jiwa pendidik  yang tertanam pada diri beliau yang salam ini mendidik anak-anak Aceh di dayah beliau, mendidik masyarakat melalui serangkaian majlis ta’lim dan dari mimbar ke mimbar ceramah lainnya.

Pengalaman Tu Bulqaini ini sangat dibutuhkan untuk bagaimana memperjuangkan peradaban politik di Aceh yang tercermin di dalamnya nilai-nilai Islam yang mulia. Sudah saatnya Aceh lebih sejahtera dan bermartabat di bawah naungan Islam. 

Di tengah pragmatisme partai politik dan berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik, perjuangan Tu Bulqaini dan kawan-kawan akan berat d hadapan realitas ini.  

Oleh sebab itu dituntut hadir membaca keadaan ini secara cermat dan seksama. Sebab, berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik akan justru dapat menjadi peluang bagi Tu Bulqaini dan kawan-kawan untuk menawarkan konsepsi ideologi politik partainya yang berbeda dengan yang lain. 

Tu Bulqaini harus merangkul banyak pihak untuk mewujudkan visi perbaikan peradaban politik Aceh ini, yaitu bagaimana memperkuat visi amar ma'ruf nahi mungkar dalam jagad politik Aceh sesuai dengan aspirasi para ulama sehingga kesejahteraan masyarakat di dunia dapat diwujudkan dan keselamatan di akhirat dapat diraih. Amiin

Selamat berjuang Tu Bulqaini! ['Izzuddin]



 

Posting Komentar untuk " Jadi Pimpinan Partai Politik Lokal, Tu Bulqaini Bukan Aktivis Kemarin Sore"