Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ulama Kharismatik Aceh Abu Tumin Meninggal Dunia, Aceh Berduka

 



Banda Aceh – Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un. Kabar duka menimpa masyarakat Aceh. Salah satu ulama kharismatik Aceh, Abu Tumin meninggal dunia pada pukul 15.45 di Rumah Sakit Umum Fauziah Bireuen.

Kabar meninggalnya ulama yang bernama asli Tgk Muhammad Amin bin Tgk. Mahmudsyah menggemparkan jagad media sosial di Aceh. Baik di status Whatsapp, status-status Facebook dan hampir semu group WA dipenuhi kabar dan duka cita atas meninggalnya ulama yang merupakan pimpinan Dayah Babussalam Blang Blahdeh Bireuen ini.

Abu Tumin yang merupakan salah satu ulama kharismatik Aceh ini lahir di desa Kuala Jeumpa, kemukiman Blang Bladeh, kecamatan Jeumpa, kabupaten Bireuen (sekarang) pada tanggal 17 Agustus 1932. Artinya, saat meninggal usia beliau mencapai 90 tahun lebih.

------

Nasehat Abu Tumin di Masa Hidup Beliau

Dikutip dari Facebook Tgk Rinaldy Al Asyi, disamping memimpin dayah dan aktif dalam berbagai kegiatan keagamaan, Abu Tumin juga sangat peduli dalam hal berbangsa dan bernegara. Dalam kesibukannya yang luar biasa, beliau masih menyempatkan diri menganalisa keadaan bangsa dan memberikan solusinya.

Sebagaimana yang dimuat di beberapa media, pernah suatu ketika Abu di ajukan pertanyaan oleh awak media terkait kondisi Aceh hari ini, dengan bahasa filosofinya yang sederhana tapi sarat dengan makna.

Abu Tu Min saat itu menjawab: “Malakat kana lam jaroe, Tuah kana bak droe, tapi lagee-lagee hana ta tuo’h peutimang”. Maksudnya abhwa, “perdamaian dengan segala hal yang melekat di dalamnya, seperti MOU Helshinki dan UUPA adalah salah satu malakat dan tuah yang dimiliki Aceh saat ini dan ini menjadi jembatan untuk Aceh menuju masa depan yang lebih cemerlang, tapi sepertinya keistimewaan tersebut malah kita sia-sia kan” 

Lebih lanjut Abu Tumin menuturkan “ Saat ini Aceh membutuhkan sosok pemersatu yang mampu menyatukan seluruh elemen masyarakat dan sanggup memupuk persatuan antara ulama dan umara dalam membangun Aceh, seperti yang telah dipraktikkan oleh endatu kita pada masa Iskandar Muda. 

Ketika ulama dan umara berjalan sendiri-sendiri maka dengan sendirinya ummat akan terkotak menjadi dua bagian. 

Tapi ketika ulama dan umara sudah bersatu maka yang lahir hanyalah satu keputusan dan ummat pun akan bersatu dalam satu keputusan” Pada masa Iskandar Muda, ulama dan umara bersanding untuk membangun Aceh bukan malah bersaing, maka lahirlah istilah”Adat bak Poe Teumeuruhom, Hukom bak Syiah Kuala” sebagai simbol persatuan dua kekuatan nyakni umara dan ulama.

Padahal, masih menurut Abu” Watak masyarakat Aceh dari dulu sampai sekarang tidak pernah berubah, yang berubah adalah perangainya di sebabkan pengaruh budaya global”.

Kemudian beliau merincikan tiga macam watak masyarakat Aceh, yaitu: (1) Geunaseh; (2) Seutia dan; (3) Beuhe. 

Sebagai ulama kharismatik yang lahir sejak masa penjajah, Abu Tumin menilai, ketiga watak yang melekat pada masyarakat Aceh ini merupakan aset yang bisa kita gunakan sebagai landasan untuk membangun Aceh. Tapi Aceh yang tidak dipecah-pecah kedalam bagian-bagian kecil, sehingga identitasnya hilang. Papar beliau.

Karenanya, dalam banyak kesempatan beliau selalu mengingatkan tentang pentingnya persatuan, lebih-lebih lagi persatuan antara ummat dan ulama. Beliau sangat mengecam oknum-oknum yang ingin memisahkan ummat dari ulama. 

Sebagaimana yang pernah beliau sampaikan dalam Acara Muzakarah Ulama Se-Aceh yang di adakan di Paya Pasi pada tahun 2016 silam. 

Kata beliau “Apabila ada pihak-pihak yang hendak memisahkan masyarakat muslimin Aceh dengan ulama, nyan beuneuteupu racon bagi droneuh” nyoe peusan, nyoe peusan, nyoe peusan dari ulon tuan, lanjut beliau lagi “Apabila teuma masyarakat nyoe ka meupisah ngon ulama, yang poh ulama adalah ureung Aceh sendiri” tutur beliau di depan ratusan masyarakat pada acara tersebut.

Kepedulian dan kepiawaian beliau dalam segala bidang ini membuat sosok Abu Tumin dijadikan rujukan oleh sebagian besar masyarakat dan pemerintah Aceh, bahkan dari kalangan apapun ketika berkunjung ke Aceh, serasa belum lengkap jika belum bersilaturrahmi dengan beliau.


---------------


Riwayat pengembaraan Ilmu Abu Tumin

Sementara itu, dikutip dari tulisan Tgk Dr Nurkhalis Mukhtar, Mengawali pengembaraan ilmunya, Abu Tumin pernah mengecap pendidikan umum pada masa Belanda selama tiga tahun. Setelah kemerdekaan Indonesia, Abu Tumin dalam usianya 12 tahun dimasukkan ke Sekolah Rendah Islam yang dikenal dengan SRI, sekolah yang memiliki bahan ajaran yang memadai dalam bidang agama. 

 

Sambil bersekolah di SRI, Abu Tumin juga belajar langsung pada ayahnya ilmu-ilmu keislaman, terutama dasar-dasar kitab kuning dan ilmu alat seperti nahwu dan sharaf.

 

Selama lebih kurang tiga tahun Abu Tumin belajar dengan sungguh-sungguh kepada ayahnya Teungku Tu Mahmud Syah yang juga ulama, telah memberikan bekal ilmu yang memadai untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya. 

 

Pada usianya 15 tahun, mulailah Abu Tumin belajar dari satu dayah ke dayah lainnya hingga berakhir di Labuhan Haji Darussalam dengan gurunya Syekh Muda Waly al-Khalidy.

 

Abu Tumin pernah belajar beberapa bulan di Dayah Darul Atiq Jeunieb yang dipimpin oleh Abu Muhammad Saleh yang merupakan ayah dari Teungku Abdul Aziz atau yang dikenal dengan Abon Samalanga. 

 

Setelah beberapa bulan di Dayah Jeunieb, Abu Tumin kemudian melanjutkan pengajiannya ke Dayah Samalanga dalam beberapa bulan juga, kemudian beliau belajar di Dayah Meuluem Samalanga selama satu tahun, dan terakhir di Dayah Pulo Reudep yang dipimpin oleh Teungku Muhammad Pulo Redeup selama tiga tahun sebelum ke Labuhan Haji. 

 

Maka dengan bekal ilmu yang memadai dari guru-guru itulah yang mengantarkan Abu Tumin muda dalam usianya 20 tahun berangkat ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan pada tahun 1953.

 

Selain Abu Tumin, di tahun 1953 beberapa ulama lainnya juga tiba di Labuhan Haji untuk belajar pada Abuya Syekh Muda Waly. Karena umumnya teungku-teungku yang belajar kepada Abuya, telah memiliki ilmu yang memadai sebelum belajar ke Abuya, sehingga bisa duduk di kelas "Doktor" Bustanul Muhaqiqin. 

 

Di antara ulama-ulama yang datang di tahun 1952 dan 1953 adalah Abu Abdullah Hanafi Tanoh Mirah yang kemudian mendirikan Dayah Darul Ulum Tanoh Mirah yang dikenal dengan kealimannya dalam bidang ushul fikih. 

 

Ulama lainnya adalah Abon Abdul Aziz Samalanga yang kemudian melanjutkan kepemimpinan Dayah Mudi Mesra setelah wafat mertuanya Abu Haji Hanafiyah Abbas yang dikenal dengan Teungku Abi Samalanga.

Abon Abdul Aziz Samalanga dikenal ahli dalam ilmu mantik atau ilmu logika. Sedangkan Abu Keumala datang lebih awal ke Dayah Darussalam Labuhan Haji, dan Abu Keumala dikenal ahli dalam ilmu tauhid, mengabdikan ilmunya di Medan Sumatera Utara hingga wafatnya di tahun 2004.

 

Selain menjadi murid Abuya Syekh Haji Muda Waly di Darussalam, Abu Tumin juga telah dipercaya untuk mengajarkan para santri lain yang berada pada tingkatan tsanawiyah, karena beliau disebutkan mengajar santri di kelas 6 B, adapun di kelas 6 A diajarkan langsung oleh Abuya Muhibbudin Waly, sedangkan Syekh Muda Waly al-Khalidy mengajarkan kelas dewan guru. 

 

Ketika di Darussalam Labuhan Haji, Abu Tumin sekelas dengan Abu Hanafi Matang Keh, Teungku Abu Bakar Sabil Meulaboh dan Abu Daud Zamzami Ateuk Anggok. Adapun Abu Abdullah Tanoh Mirah dan Abon Samalanga lebih senior satu tingkat diatasnya. Abu Tumin belajar dan mengajar di Labuhan Haji selama 6 tahun, beliau juga murid khusus di kelas Bustanul Muhaqqiqin belajar langsung kepada Abuya Haji Muda Waly.

 

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Dayah Darussalam Labuhan Haji, Abu Tumin kemudian memohon izin kepada gurunya untuk pulang kampung pada tahun 1959 untuk mengabdikan ilmunya. Sedangkan temannya seperti Abon Samalanga pulang kampung setahun sebelumnya pada tahun 1958 dan Abu Tanoh Mirah pulang di Tahun 1957. 

 

Umumnya murid-murid Abuya yang datang di atas tahun 1952 dan 1953 pulang di akhir tahun1959. Sedangkan generasi sebelum Abu Tumin yang datang ke Darussalam pada tahun 1945 dan 1947, mereka umumnya pulang di tahun 1956 seperti Abu Aidarus Padang dan Abu Imam Syamsuddin Sangkalan.

 

Setibanya di Kampung halaman, setelah belajar di berbagai dayah terutama Dayah Darussalam Labuhan Haji telah mengantarkan Abu Tumin menjadi seorang ulama yang mendalam ilmunya. Abu Tumin kemudian memimpin dayah yang telah dibangun oleh kakek beliau yaitu Teungku Tu Hanafiyah yang kemudian dilanjutkan oleh Teungku Tu Mahmud Syah ayah Abu Tumin, selanjutnya estafet keilmuan dan kepemimpinan dayah dilanjutkan oleh Abu Tumin. [Dikutip dari Tulisan Tgk Rinaldi dan Tgk Nurkhlis Mukhtar]

-----

Kini Abu Tumin telah tiada. Salah satu pelita dalam kehidupan masyarakat Aceh telah padam. Kabar duka menaungi masyarakat Aceh..

Ya Rabb.. Terimalah arwah Abu Tumin disisiM. Tempatkah ia dalam syurgaMu sebagaimana ia dalam masa hidupnya telah mewakafkan hidupnya untuk menghidupkan ilmu-ilmu Islam. Amiin ya Rabb.

 

Posting Komentar untuk " Ulama Kharismatik Aceh Abu Tumin Meninggal Dunia, Aceh Berduka"