Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Berawal dari Keresahan, Mahasiswi Ini Tulis Skripsi Kaji Pers Islami di Aceh

Sidang skripsi Elfira Syuhada (6/7/2014). Foto: Ist
Banda Aceh – Berawal dari pengalamannya yang sempat menjadi wartawan pemula di Aceh sekitar dua tahun lalu, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry yang pernah menjadi mahasiswa Terbaik III Muharam Jurnalist Collage tahun 2011 ini akhirnya mengajukan proposal skripsinya yang membahas tentang “Pers dalam Perspektif Islam, Analisis di salah satu media di Aceh”.

Dua tahun melakukan penelitian, skripsi Elfira akhirnya disidangkan pada tanggal 6 Agustus 2014 di kampus tersebut dan dinyatakan lulus dengan catatan perbaikan.

Meskipun butuh waktu yang agak lama untuk menyelesiakan penulisan skripsi tersebut, namun harus diakui, Elfira telah melahirkan sebuah hasil penelitian penting bagi dunia pers di Aceh. Kita anggap penting karena karyanya yang hampir mendekati konsep ideal pers Islami itu memang sangat dibutuhkan di Aceh sebagai wilayah yang secara resmi memberlakukan syari’at Islam.  

“Saya meneliti tentang pers dalam perspektif Islam, yaitu pers yang dalam kegiatan jurnalistiknya melayani kepentingan umat Islam dan misi dakwahnya”, ujar Elfira saat dijumpai Suara Darussalam seusai sidang skripsinya.

Elfira mengaku saat menjadi wartawan pemula dua tahun lalu, ia melihat banyak wartawan yang masih ibarat lilin. Menyinari orang lain, tapi ia sendiri tergerus tubuhnya sendiri hingga “mati”.

“Ada wartawan yang rela meninggalkan shalat hanya demi tugas liputan. Jadi, bagaimana mungkin ia akan mau mematuhi aturan manusia seperti UU dan Kode Etik Jurnalisti (KEJ) sedangkan aturan Allah Swt saja berani ia langgar”, ujar Elfira menjelaskan latar belakang ia memutuskan untuk meneliti tentang pers Islami di Aceh.

Menurut Elfira, penelitiannya ini memiliki dua  rumusan masalah. Yang pertama  ia  ingin mengetahui, bagaimana konsep pers menurut perspektif Islam. Kedua, ia ingin mengetahui bagaimana penerapan  prinsip-prinsip pers berspektifkan Islam pada salah satu media di Aceh.

“Jadi, setelah saya melakukan study kepustakaan untuk menemukan prinsip-prinsip pers perspektif Islam, barulah saya melihat bagaimana penerapannya selama ini di lapangan, dengan mengambil sampel salah satu media lokal di Aceh”, ujar Elfira.

Elfira menambahkan, bahwa penelitiannya itu adalah sebuah ikhtiar dalam mengumpulkan konsep pers menurut perspektif Islam, yang selanjutnya ia diharapkan bisa bermanfaat bagi umat Islam pelaku dunia jurnalistik.

Elfira Syuhada dengan Piagam penghargaan yang diterimanya
Sembilan prinsip Pers Islami
Dalam penelitiannya ini, Elfira menemukan sembilan prinsip pers menurut perspektif Islam yaitu: prinsip tabayyun dan akurasi terdapat dalam surat Al-Hujurat ayat 6, prinsip mendamaikan (ishlah) kedua pihak yang berselisih (Al-Hujurat ayat 9), prinsip membawa berita gembira (Al-Baqarah ayat 25), prinsip tidak menjelekkan orang lain (Al-Hujurat ayat 11), prinsip ta’dib atau Pendidikan (Ali-Imran ayat 79-80), prinsip membawa kabar peringatan (Ali-Imran ayat 104), prinsip mencegah kemaksiatan dan kemungkaran, prinsip menyeru pada kebaikan dan membela misi Islam/dakwah, prinsip memberi kabar gembira dan kabar peringatan.

“Kedepan, bisa saja kesembilan prinsip ini akan bertambah. Karena ini adalah ikhtiar awal mengumpulkan prinsip-prinsip tersebut sesuai dengan al-Quran”, kata dia.

Secara umum, kata Elfira, unsur pers Islam bisa dikatakan hampir sama dengan pers secara umum, harus ada jurnalis, berita, lembaga pers, saluran dan jaringan lembaga pers.

“Namun yang membedakan adalah pada masing-masing nilai yang diterapkan. Perbedaan yang paling mencolok antara pers Islam dengan pers umum adalah pada pembelaan misi Islam/ dakwah”, kata Elfira menjelaskan.

Oleh sebab itu, menurut Elfira, kehadiran pers Islami di Aceh dewasa ini menjadi sangat penting. Bahkan tak hanya di Aceh saja, seharusnya di Indonesia juga secara keseluruhan. Elfira yang mengutip pendapat Faris Khoirul Anam menambahkan, bahwa Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia namun belum ada suatu aturan yang sistematis tentang kinerja jurnalistik dan hubungannya dengan syariat Islam. Sangat disayangkan, karena otomatis mayoritas wartawan di Indonesia adalah wartawan muslim. 

“Padahal, sebagai muslim kita wajib mempercayaai bahwa aturan dalam Islam adalah sebaik-baik dan sesempurna aturan, yang  dengannya bisa mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Sebaliknya, apabila bertindak tidak sesuai aturan yang ditetapkan Allah, maka tak heran banyak kemudharatan yang terjadi”, sesal Elfira.

Pers dalam perspektif Islam adalah sebuah keniscayaan bagi kaum muslimin. Karena studi apapun yang jauh dari komunitas dan lingkungan yang berkait, atau dengan ungkapan lain, mengimpor dari peradaban lain, maka  adalah kerja yang jauh dari kenyataan, karena tidak akan mampu memberikan hasil maksimal sesuai target yang diharapkan.

Aceh yang sudah berkomitmen dengan penerapan syariat Islam seharusnya memang melaksanakan syariat tersebut secara kaffah (total).

“Tak terkecuali dengan pekerja media. Kita sangat membutuhkan media yang bersahabat seiring selangkah menguatkan upaya pelaksanaan syariat Islam di Aceh”, ujar Elfira berharap.

Elfira menambahkan, sejak pertama penerapan syariat, kita bisa melihat bagaimana media menggiring pendapat masyarakat untuk menolak formalisasi syariah dalam Qanun di Aceh. Bahkan media internasional yang tidak senang dengan penerapan syariat Islam ini juga ikut andil memberikan citra negatif terhadap pelaksanaannya.

Begitu besar kekuatan media di era zaman informasi saat ini, kata Elfira sehingga Mohammed Ali Harrath, pendiri dan CEO Islam Channel di London sampai mengatakan, “siapa yang mengontrol media, dia yang mengendalikan pikiran.” Apa yang dikatakan media menjadi landasan untuk bertindak. Media mengkonstruksi siapa yang baik dan siapa yang buruk. Bagi dunia muslim, karena kelemahan akses dalam media, kita mendapat stigma sebagai teroris, radikalis, dan ekstrimis.

Oleh sebab itu, kata Elfira, penguasaan media dan menjalankannya sesuai aturan Islam adalah mutlak bagi muslim, terutama untuk menghadapi Islamphobia yang terus menggejala. Sudah seharusnya para ulama sebagai sosok yang lebih mengetahui konsep syariah bersatu-padu berdakwah melalui media. Karena, dakwah konvensional yang dilakukan para ulama selama ini sudah tidak relevan lagi. 

Sebab, mayoritas umat manusia sudah tak peduli lagi terhadap nasehat lisan para syaikh dn ustad. Majelis taklim mereka adalah televisi dan sajian koran serta internet yang rutin diikuti setiap harinya.

Baru sebagian kecil pers di Aceh yang Islami
Menurut Elfira, pers yang ada di Aceh saat ini masih sebagian kecil yang menerapkan prinsip-prinsip Islam. Seperti prinsip yang mencolok perbedaannya dari pers konvensional adalah membela misi Islam/ dakwahnya.
“Namun begitu, tetap ada upaya dari pekerja media untuk memberikan porsi terhadap konten islami. Terlepas memang berupaya menerapkan prinsip tersebut atau hanya karena pangsa pasarnya orang Aceh yang notabenenya fanatik Islam sehingga menuntut pemberian porsi terhadap konten Islam”, ujar Elfira. 

Elfira mengaku optimis, sebenarnya banyak kalangan  di Aceh yang menginginkan terwujudnya pers islami secara kaffah, hanya saja terbentur permasalahan anggaran pendanaan. Tapi, bukan suatu hal yang tidak mungkin, Aceh bisa mempunyai pers islami secara kaffah nantinya, pasti bisa, bi idznillah.
“Semoga pihak pemerintah Aceh benar-benar menginginkan pelaksanaan syariat secara kaffah, sehingga mendukung dakwah Islam dengan memberikan anggaran yang cukup bagi media kecil yang menyuarakan syariat”, katanya menjelaskan.

Akhlak jurnalis Muslim
Elfira juga mengatakan, bahwa seorang jurnalis harus menerapkan konsep-konsep dasar dalam Islam terkait dunia pemberitaan, yakni: melakukan klarifikasi para narasumber atau saksi mata, jujur dalam pemberitaan, teliti alias akurat, objektif (ikhlas) dan patuh pada aturan dan etika umum. Sebaliknya, dalam menyikapi kebebasan, Islam tidak memberikan secara mutlak, namun membatasinya dengan beberapa hal, demi menjaga eksistensi aturan norma yang berlaku di tengah masyarakat. 

Karena itu, kata Elfira, seorang jurnalis pantang untuk: melakukan dan mengekspos kebohongan, merusak privasi orang lain (baik ghibah, menghina, atau membongkar rahasia), menyebarkan kerusakan seperti mengangkat berita cabul atau foto-foto yang tidak sesuai syariat untuk diekspos, sehingga menginspirasi orang lain untuk melakukan kejahatan.

Menurut Elfira, esensi jurnalis muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyejahterakan rakyat banyak, maka ia harus tegas menolak rayuan berbentuk “amplop”. Jika dalam dunia jurnalistik umum menolak amplop hanya dikenakan sangsi etika atau peran batin, maka jauh dari itu di dalam Islam orang tersebut sudah mendapatkan sangsi dosa besar, apabila amplop tersebut termasuk dalam sogokan, yang bertujuan membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar (Al-Maidah: 42).

Pers Islami bukan hanya mimpi
Elfira juga mengakui, bahwa pers Islami bukan hanya sekedar mimpi, ia bisa terwujudkan. Apabila seluruh elemen masyarakat berperan aktif. Ya, seluruh elemen masyarakat, sampai ke tingkat terendah yaitu konsumen media.

Diantara, kata Elfira, caranya adalah dengan mendukung media Islam yang sudah eksis sekarang ini, memberikan penguatan, perbaikan manajemen dan SDM serta yang terpenting adalah strategi marketing menjaring iklan untuk mengepul asap dapurnya.

“Tentunya iklan yang tidak bertentangan dengan syariat seperti iklan rokok. Atau, media yang memiliki poros Islam seperti Republika membangun anak perusahaan di Aceh”, ujar Elfira menerangkan. 

Elfira mengatakan, disini seluruh komponen umat harus peduli.

“Bukankah rakyat Aceh ini banyak yang kaya?”, kata Elfira mempertanyakan.
Elfira menambahkan, bahwa dana APBN yang dikucurkan untuk Aceh juga melimpah ruah, potensi ekonomi juga luar biasa. 

“Asal ada political will saja dari penguasa, maka pers di Aceh sudah semakinmendekati kebangkitannya. Namun jika penguasa memang tak acuh pada Islam, maka tugas komponen ulama seperti MPU memahamkannya. Kalau sudah ada kebijakan gubernur untuk mempelopori, tinggal para saudagar yang perlu disadarkan agar menjadi investor pengiklanan, sementara kaum muslimin disadarkan agar menjadi pelanggan setia ”, ujar Elfira. 

Juga perlu diingat, kata Elfira, uang bukanlah segalanya untuk membangun media islami di Aceh, karena banyak juga yang sudah mencoba membangun media Islam namun kandas di tengah jalan. SDM yang berkompetitif merupakan salah satu kunci kesuksesan. Karena sampai saat ini media-media Islam memiliki kendala pada kualitas jurnalisnya. Namun tetap beroptimis, karena jurnalis muslim pun mengalami kemajuan dalam kualitasnya, sedikit demi sedikit tapi pasti.

Suara Darussalam juga menanyakan pendapat Elfira soal Rancangan Qanun Pers Islami yang kini sudah tidak jelas kapan akan dibahas lagi oleh DPRA karena adanya penolakan-penolakan sebagian kalangan beberapa waktu lalu.
Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah saw, kata Elfira, Islam datang berawal asing dan berakhir pula dengan keterasingan. Akan ada pihak-pihak yang tidak senang dengan penerapan syariat Allah. 

Tak hanya sekarang, bahkan dimulai dari jaman Rasulullah saw. Berbagai alasan dilontarkan untuk menolak Raqan pers islami. Diantaranya UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sudah cukup islami, jadi tidak perlu lagi adanya pers islami.
“Memang UU atau Kode Etik yang dirancang oleh Dewan Pers dan aliansi-aliansi wartawan selama ini sudah memiliki kesesuaiannya dengan prinsip Islam sebagian besarnya, namun masih ada bagian-bagian yang masih diperdebatkan”, kata Elfira menjelaskan.

Menurut Elfira, konsep yang ditawarkan Islam jauh lebih sempurna dan sesuai dengan kaum muslimin itu sendiri. Karena di dalam Islam kerja jurnalis adalah kerjanya para anbiya, menyampaikan risalah agama. Sehingga menjadi sebaik-baik manusia bagi orang yang mengembankan misi dakwah tersebut.
“Tentu kita menginginkan lebih dari sekedar kepuasan batin karena telah memberitakan sesuai fakta atau menolong orang lain”, katanya. 

Ketika diniatkan untuk menolong agama Allah, maka akan bernilai pahala dan amal jariyah yang terus mengalir hingga ke liang lahat nanti, kata Elfira lagi.

“Karena selama ini yang menguasai media adalah barat, maka apa-apa yang datangnya dari barat adalah lebih baik, meski belum tentu sesuai untuk dirinya”, pungkas Elfira. [Zulkhairi]