Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Falsafah Zakat




Dr. Hafas Furqani * 
Salah satu keunikan Islam adalah kelengkapannya sebagai sebuah agama (al-din). Islam tidak hanya sebuah agama yang mangajar bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan saja (ibadah), tetapi juga mengatur hubungan manusia sesama manusia (mu’amalah). Kelima Rukun Islam mencerminkan hubungan vertikal dan horizontal. Aturan-aturan Islam tidak selalu bersifat normative, yang berisi semata-mata ajakan moral, tetapi lebih daripada itu, ia juga bermaksud untuk dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Dalam pemahaman sekular, agama dipandang hanya sebagai urusan individu dengan Tuhan. Agama tidak boleh sekali-kali memasuki persoalan sosial, politik, ekonomi, hukum, apalagi kebudayaan. Ini kerana agama dipandang sebagai sesuatu yang terpisah (distinct) dalam sektor kehidupan kehidupan manusia dan bersifat peribadi (private matters) dan  tidak sepatutnya diatur secara formal oleh negara dalam bentuk undang-undang (qanun). Segala campur tangan negara dalam bidang-bidang tersebut berasaskan ajaran agama dipandang melanggar ‘kebebasan’ individu.

Islam menolak sama sekali prinsip ini. Kerana, Islam tidak hanya memiliki konsep yang jelas terhadap berbagai persoalan, lebih jauh, ia menghendaki semua ajaran tersebut diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Pengaplikasian ajaran dan prinsip Islam dalam kehidupan personal dan publik tidaklah dimaksudkan untuk mengekang kebebasan manusia, tetapi lebih kepada mengatur berbagai kepentingan yang ada sehingga tidak ada konflik antara kebebasan individu dan kepentingan publik.

Zakat adalah satu contoh betapa Islam mengatur urusan rakyat banyak (public matters). Tidak sama seperti ibadah mahdah (shalat dan haji), zakat adalah institusi sosial di mana kesadaran individu sangat diharapkan dan peranan optimal negara diakui untuk mengatur kepentingan publik.

Zakat adalah bagian dari rukun Islam yang mencari keseimbangan dalam kehidupan manusia. Kesadaran menunaikan zakat adalah bagian dari kesadaran bermasyarakat dan merupakan kesempurnaan kesedaran keberagamaan. Abu Bakar al-Siddiq, Khalifah Islam pertama, pernah marah ketika sebahagian kaum Muslimin di masa awal pemerintahannya tidak mahu membayar zakat dengan alasan Rasulullah saw telah wafat sehingga kewajipan zakat menjadi gugur. Beliau lalu mengutus Khalid bin Walid menundukkan beberapa qabilah Arab yang murtad dan tidak mahu membayar zakat. Kemudian beliau memerintahkan untuk membentuk sebuah badan pengumpulan dan distribusi zakat.


Zakat = Tumbuh + Suci

Zakat adalah nama kepada suatu bentuk aktivitas mengeluarkan sejumlah kadar tertentu dari harta yang telah sampai nisab (batas maksimum) dan cukup satu tahun (haul) untuk dibagikan kepada golongan tertentu yang berhak menerimanya (mustahiq). 

Kata zakat secara etimology bermakna tumbuh dan suci. Pemilihan kata zakat memang sangat sesuai dengan kedua makna tersebut yang juga menggambarkan fungsi dan tujuan zakat.  

Pertama, Zakat bermaksud tumbuh, berkembang dan bertambah (al-nama’). Seperti diketahui, zakat diwajipkan kepada harta yang telah melebihi jumlah maksimal atau telah mencapai nisab. Allah swt berfirman, “dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: Yang lebih dari keperluan” (Al-Baqarah: 219).  

Dalam Islam, harta yang surplus (lebih) di satu sektor mesti dialirkan kepada sektor yang mengalami kekurangan (deficit). Islam melarang bertumpuknya dan tertahannya harta di tangan orang kaya saja. Sesetiap harta yang sudah mencapai nisab dan genap satu tahun musti ditarik oleh baitul mal dan dibagi-bagikan kepada masyarakat.

Distribusi kekayaan dalam ekonomi Islam tidak cukup hanya dalam bentuk ‘konsumsi’ yang dilakukan oleh si kaya di pasar dan diatur oleh mekanisme pasar. Islam memandang perlu sebuah mekanisme lain yang menjamin alokasi kekayaan tersebut benar-benar masuk kepada si miskin. Mekanisme pasar hanya efektif bagi mereka yang memiliki modal, informasi dan kemampuan untuk masuk dan berinteraksi di pasar,  sedangkan mereka yang miskin hanya akan menjadi ‘penonton’ di luar arena dari berbagai macam transaksi barang dan jasa yang tidak mampu dimilikinya.

Zakat memastikan transfer harta kepada simiskin sehingga harta tersebut tidak beredar dikalangan mereka yang kaya saja (pemilik modal). Zakat dalam hal ini berfungsi sebagai wealth transfer mechanism yang menjamin distribusi kekayaan negara secara ‘konstan’ dari mereka yang memiliki kelebihan harta (surplus sectors) kepada mereka yang merasa kekurangan (deficit sectors) sehingga perekonomian sesebuah negara menjadi seimbang dan jurang sosial di dalam masyarakat menjadi semakin kecil. Kalau Zakat dikelola dengan bagus, maka seolah-olah zakat berfungsi sebagai sebuah mekanisme yang bersifat ‘memaksa’ aliran dana dari sektor yang surplus kepada sektor yang mengalami kekurangan dana.

Harta zakat yang telah dikumpulkan dan dibagi-bagikan kepada delapan sektor yang berhak menerima zakat, akan memberikan “multiplier effect” berupa transformasi pertumbuhan ekonomi dari yang selama ini hanya terjadi di kalangan mereka yang kaya kepada mereka yang miskin. Transformasi ekonomi tersebut akan mempunyai implikasi positif kepada pemerataan dan keadilan distribusi ekonomi kepada setiap golongan ekonomi dalam masyarakat sehingga jurang sosial-ekonomi menjadi semakin kecil.

Kedua, Zakat bermaksud suci dan dimaksudkan sebagai penyuci hati dan harta manusia (tazkiyah). Allah swt berfirman, “Ambillah zakat dari mereka untuk membersihkan dan menyucikan mereka” (Al-Taubah: 103).

Zakat dalam hal ini menjalankan dua fungsi; sebagai pembersih sifat kotor manusia dan sebagai pembersih harta manusia. Hati manusia memang tidaklah selalu suci seratus persen. Sifat tabi’i manusia untuk cenderung suka kepada harta benda, kekayaan dan kemewahan, mementingkan dirinya sendiri dan lain-lain menyebabkan dirinya sering kali lalai dalam mengendalikan hawa nafsu. Zakat dimaksudkan untuk melenyapkan sifat ini dan menundukkan hawa nafsu sehingga hati manusia menjadi suci, tidak ada lagi sifat mementingkan diri sendiri (individualistik) dan rakus tehadap harta benda, kemudian selanjutnya akan tumbuh perasaan sosial, sikap kasih sayang dan tolong menolong sesama manusia.

Zakat juga dimaksudkan sebagai  pembersih harta manusia. Dalam hal ini, Imam Fakhruddin Al-Razi dalam tafsirnya Al-Kabir berpendapat, zakat dikatakan sebagai penyuci diri dan harta manusia karena memang zakat itu adalah kotoran manusia. Ketika zakat dikeluarkan, maka berarti kita telah menyucikan harta kita. Sebab itulah Nabi saw menolak untuk menerima zakat dan mengharamkannya kepada ahli keluarga beliau. Nabi bersabda, “Zakat adalah kotoran manusia (min awsakh al-nas), ia tidaklah halal kepada Muhammad juga tidak halal kepada keluarga Muhammad” (HR. Muslim). Zakat tidak sama seperti hadiah ataupun harta fa’i dimana Rasulullah dan keluarganya diperbolehkan menerimanya.


Khatimah

Zakat adalah alat yang sempurna untuk menterjemahkan prinsip Islam tentang persaudaraan dan rasa kemanusiaan kedalam kehidupan yang nyata. Allah swt sangat menginginkan agar zakat ditujukan sebagai suatu bentuk ‘kontribusi’ oleh setiap Muslim, lelaki dan perempuan, terhadap kemajuan dan kesejahteraan (At-Taubah: 71).

Namun demikan, perlulah menjadi perhatian kita bersama, meskipun zakat dimaksudkan sebagai wealth transfer mechanism agar distribusi harta dikalangan masyarakat merata dan berkeadilan, juga supaya hati manusia menjadi suci dari sifat rakus akan kemewahan, dalam praktiknya, untuk mencapai tujuan tersebut, ianya perlu kepada beberapa aspek pendukung lainnya, seperti manajemen zakat yang efisien dan rapi, distribusi yang benar dan adil, dan yang lebih penting lagi adalah kesadaran dalam diri manusia untuk menjadi ‘suci’ (fitrah).

Karena itu, zakat tidaklah bermaksud tumbuh jikalau pengelolaannya tidak benar, pengumpulannya tidak diatur dengan rapi dan distribusinya tidak adil. Demikian pula, zakat tidaklah bermaksud suci kalau pembayaran zakat hanya sekedar ritual tahunan tanpa ada kesan mendalam kepada perubahan tingkah laku sehingga sifat serakah terhadap harta tidak lenyap dari hati dan kembali menumpuk harta dengan jalan yang batil (akl amwal al-nas bi al-batil).  

Sebab itulah, dalam sebuah sistem ekonomi yang berdasarkan kepada nilai-nilai Islam, kesadaran untuk membayar zakat menjadi tidak membawa kesan apapun jika tidak ada mekanisme pengumpulan zakat yang efisien dan tidak terorganisir dengan rapi. Demikian pula, manajemen zakat yang bagus juga tidak cukup, kalau tidak tumbuh kesadaran untuk mensucikan hati dari perilaku mencari harta dengan cara yang haram, serakah dan tidak pernah merasa cukup terhadap harta benda.  Wallahu a’lam bi al-sawab.   

* Ketua Prodi Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Ar-Raniry dan Peneliti di ISRA (International Shari’ah Research Academy for Islamic Finance) Malaysia. hafasf@gmail.com