Prof Farid Wajdi Ibrahim Jamin UIN Ar-Raniry Tidak Akan Liberal
Rektor UIN Ar-Raniry, Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim, MA |
INSTITUT Agama Islam Negeri
(IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh akhirnya telah berubah secara resmi statusnya
menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, setelah keluar Peraturan
Presiden (Perpres) RI Nomor 64 Tahun 2013 tanggal 1 Oktober 2013.
Perpres yang ditandatangani langsung
oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono diterima Rektor Prof
Dr Farid Wajdi Ibrahim MA di Kantor Sekretariat Kabinet (Setkab) Jakarta.
Isinya mengatur tentang perubahan status IAIN Ar-Raniry menjadi UIN Ar-Raniry
yang berkedudukan di Banda Aceh.
Peresmian dilakukan tepat hari ulang
tahun emas (yang ke-50) pada 5 Oktober 2013 lalu. Meski demikian, hingga kini,
perubahan UIN Ar-Raniry masih melahirkan pro dan kontra. Dinamika ini
misalnya terlihat dari respon-respon publik di media massa terhadap wacana
perubahan.
Pendapat yang resisten mengkhawatirkan
jika setelah berubah menjadi UIN, ciri khas keislaman IAIN akan pudar seiiring
dengan masuknya fakultas dan jurusan umum dalam sistem pendidikan di UIN.
Mereka berpendapat, Aceh yang sedang menerapkan syariat Islam perlu mendapatkan
dukungan penuh dari institusi pendidikan Islam, terutama lembaga pendidikan
tinggi ternama, seperti IAIN.
Sebelumnya, kami telah berkesempatan
mewawancarai mewawancarai Prof Dr Farid Wajdi Ibrahim di Gedung Lantai 1
Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, MA. Prof Farid ditemani oleh asistennya,
Saifullah, MA yang juga dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry.
Ia meyakinkan bahwa perubahan ini tidak
akam membawa kampus UIN Ar Raniry berpaham liberal.
“Paham-paham liberal dan sekuler ini
sangat tidak cocok dengan kebutuhan dan tuntutan umat Islam dewasa ini. Jika
ada satu dua dosen IAIN yang liberal, maka itu tidak ada hubungan dengan IAIN
sebagai intitusi,” demikian ucapnya. Inilah wawancara lengkapnya.
Apa target utama yang
diharapkan dari perubahan status IAIN menjadi UIN?
Ini dalam rangka menyahuti tuntutan
kebutuhan integrasi ilmu bagi umat Islam. Dengan terjadinya integrasi
ilmu ini, kita mengharapkan agar Aceh menjadi kiblat pendidikan Islam. Kita
tidak menggunakan istilah Islamisasi ilmu, karena memang semua ilmu bisa
disatukan dengan Islam.
Kita memakai pendekatan integratif,
yaitu integrasi ilmu agar semua ilmu bisa disatukan dengan Islam. Ini adalah
keuntungan besar saat IAIN menjadi UIN. Keuntungan lain, dengan menjadi UIN,
kita bisa membiyai sampai tujuh institusi lain.
Seperti apa contoh dari keuntungan itu?
Setelah IAIN berubah menjadi UIN, akan
ada jurusan-jurusan umum yang kita buka. Seperti yang berkaitan dengan
humaniora, teknik, dan ekonomi Islam. Jadi, setelah jadi UIN, dengan jurusan
umum yang kita buka, kita berharap mahasiswa yang belajar ilmu eksak (umum),
mereka juga bisa memahami agama.
Untuk itu, di jurusan umum itu nantinya
mahasiswa juga akan belajar agama. Kita harus jujur, bahwa ilmu-ilmu umum
seperti kedokteran merupakan bagian dari khazanah keilmuan Islam juga, di mana
di era kejayaan Islam banyak ulama yang juga ahli kedokteran. Hal yang sama
juga bagi ilmu hukum, ilmu ini harus disatukan lagi dengan agama. Jadi kita
ingin mengembalikan lagi kejayaan ini.
(Prof Farid memberi contoh dengan UIN
Malang yang berhasil melakukan integrasi ilmu. Menurutnya, banyak alumnus UIN
Malang saat ini yang meskipun dia alumnus jurusan eksak, namun dia juga seorang
hafiz yang menghafal al-Quran saat di perkuliahan. Ini yang kita inginkan. Dan
jurusan agama tetap akan jalan seperti biasa di UIN Ar-Raniry nanti).
Perubahan status dikhawatirkan akan
membuat IAIN Ar-Raniry menjadi liberal?
IAIN Ar-Raniry tidak akan menjadi
sarang bagi paham Islam liberal, apalagi sekuler. Kalau jaringan Islam Liberal
(JIL) adalah corong bagi kepentingan orientalis. Ada LSM-LSM asing yang membawa
kepentingan sendiri di belakang mereka. Jadi tidak ada hubungannya dengan
perubahan status ini.
Paham-paham liberal dan sekuler ini
sangat tidak cocok dengan kebutuhan dan tuntutan umat Islam dewasa ini. Jika
ada satu dua dosen IAIN yang liberal, maka itu tidak ada hubungan dengan IAIN
sebagai intitusi. Kajian pemahaman agama di Aceh memang lebih terbuka,
tapi diharapkan mahasiswa bisa memilih yang lurus dan tidak terlibat paham-paham
yang di luar Islam.
Begitu juga, jika ada dosen-dosen yang
liberal maka mereka akan dibina secara khusus, seperti kasus Islam protestan.
Kita sudah panggil yang bersangkutan untuk kita bina, bagaimanapun konotasi
dari Islam protestan tetap negatif di mata umat Islam, meskipun mungkin
maksudnya baik. Maka masyarakat tidak perlu khawatir dengan perubahan IAIN
menjadi UIN.
Tapi nanti kan ilmu dan pemikiran di
UIN akan semakin berkembang, apakah tidak akan menjerumuskan mahasiswa ke
pemikiran liberal?
Memang IAIN dan juga UIN nanti tetap
harus mengajarkan ragam paham dan pemikiran, termasuk mu’tazilah. Tapi
kita berharap agar pemikiran mahasiswa bisa tetap lurus. Selain itu, mahasiswa
IAIN juga harus memiliki dasar pemahaman yang bagus sebelum masuk ke IAIN,
khususnya yang akan mengambil jurusan-jurusan pemikiran dan keagamaan.
(Prof Farid menceritakan
pengalamannya saat mengajari mahasiswa, pernah saat membahas paham Mu’tazilah,
lalu ada mahasiswa yang mencurigainya telah menjadi Mu’tazilah, tapi kemudian
mahasiswa ini jadi yakin 1000 persen bahwa beliau Ahlu Sunnah wal Jama’ah
(Sunni) saat beliau menyampaikan bahasan tentang paham Sunni dalam ruang
perkuliahan. Ia juga menegaskan, pihaknya akan konsisten melawan paham
Orientalisme dengan segala macam tipu dayanya. Ia menerangkan, salah satu
propaganda Orientalisme di dunia Islam adalah paham sekulerisme. Paham ini
mencoba memisahkan agama dengan negara dan semua tatanan kehidupan dan
urusan publik. Namun demikian, paham ini telah gagal di banyak dunia Islam
seperti di Turki. Saat paham sekulerisme ini dijadikan sebagai mazhab resmi
negara Turki, warganya justru menjadi lebih Islam dalam semua aspek kehidupan.
Artinya, yang terjadi di Turki justru Islamisasi, bukan sekulerisasi).
Bagaimana pandangan profesor tentang
paham orientalis ini?
Orientalisme dipelajari pada program
Islamic Studies di Barat. Banyak yang belajar Islamic Studies tapi mereka tidak
beriman. Namun demikian, tidak semua paham Orientalisme ini radikal atau
negatif walau ini lebih banyak. Ada paham Orientalisme yang pertengahan,
artinya mereka belajar Islam apa adanya, objektif. Kalau benar, ya mereka akui.
Kemudian ada paham Orientalisme model baru di mana generasi orientalis ini
sangat bertentangan dan berlawanan dengan Orientalisme yang radikal dan
negatif.
IAIN sendiri kata Prof Farid Wajdi,
setelah berubah menjadi UIN maka kurikulum dan silabusnya nanti akan disusun
agar tidak melahirkan fundamentalis, radikal, dan orientalis. Jadi lebih ke
tengah. Begitu juga materi akhlak dan moral akan ditata kembali agar
betul-betul bisa melahirkan alumnus yang berakhlak dan bermoralnya.
Bagaimana cara UIN membina relasi
dengan kalangan dayah?
Setelah IAIN berubah menjadi UIN,
hubungan dengan dayah akan tetap akan mesra. Selama ini pun, tidak ada gap antara
IAIN dan dayah. Lulusan IAIN tidak ada yang dicurigai oleh kalangan
dayah. Dan sejauh ini, IAIN sangat bisa konek dengan dayah, karena fakta selama
ini masukan-masukan dari akademisi IAIN selalu diterima oleh orang-orang dayah.
Itu membuktikan bahwa nanti UIN Ar-Raniry dengan dayah tetap akan bisa saling
mengisi.
(Prof Farid memberi contoh kemesraan
hubungan IAIN dengan dayah selama ini. Misalnya dia sering diundang saat acara
Studium General dan Sidang Terbuka di STAI Al-Aziziyah Samalanga yang didirikan
oleh kalangan dayah. Selain itu, pendirian STAI banyak yang minta izin dan
rekomendasi kepada dirinya selaku Rektor IAIN Ar-Raniry).
Kemesraan dayah dengan IAIN juga bisa
dibuktikan dengan realitas tidak adanya bentrokan fundamental antara kalangan dayah
dengan IAIN selama ini. Hubungan mahasiswa IAIN yang berasal dari dayah dengan
dosen-dosen di IAIN, baik di S1 maupun S2 juga cukup mesra.
Bagaimana pendapat profesor tentang
kelompok yang menentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh?
Memang ada pihak-pihak tertentu yang
resisten dengan formulasi qanun-qanun syariat Islam dengan alasan mengekang
kebebasan beragama, kebebasan berekpresi, atau melanggar HAM. Padahal kan umat
non-Islam di Aceh selama ini tidak pernah mendapat hukuman dari penerapan syariat
Islam. Jadi bagaimana mungkin syariat Islam disebut tidak toleran?
Kalau mau jujur, tidak yang terkekang
di Aceh dengan penerapan syariat Islam, bandingkan dengan di Arab yang nyetir
bagi perempuan saja dilarang. Kita di Aceh justru bebas sekali
bahkan. Hukum juga longgar, praktek juga bebas. Yang salah tidak
dicambuk, malah didamaikan dan atau dinikahkan. Jadi apa alasan mereka menolak
qanun-qanun syariat Islam?
Menurut Anda, bagaimana harusnya mereka
bersikap?
Kita berharap agar yang tinggal dan
atau masuk ke Aceh agar bisa menghargai syariat Islam. Yang mengatakan Syariat
Islam mengekang itu karena tidak paham. Tidak boleh pergaulan bebas,
maisir, dan khalwat memang mengekang. Tapi harus dilihat maqashid syariahnya
dulu.
Memang syariat Islam berbanding lurus
dengan kepentingan dunia. Tapi semua hukum Islam memiliki tujuan yang lebih
besar sesuai dengan maqashid syar’iyah. Yaitu untuk memelihara jiwa (hifzi
nafsi), memelihara harta (hifzil amwal), memelihara akal (hifzi
aqli), memelihara keturunan (hifzi nasli), dan memelihara
lingkungan (hifzil bi’ah). Jadi sebagai umat Islam kita tidak boleh
bertentangan dengan yang berlawanan dengan mqashid syariah.
Mereka yang bertentangan dengan maqhasid
syariah adalah tidak paham. Maka jika suatu hari mereka bersatu melawan
syariat Islam itu wajar-wajar saja, karena mereka memang tidak paham. Di sini
dituntut peran media massa dan para muballigh untuk memberi mereka
pemahaman tentang Islam dan maqashid syari’ah.*/Teuku Zulkhairi,